semesta bertanya...
Di bawah langit yang kelabu, aku duduk di serambi rumah tua itu. Hujan mengguyur perlahan, seolah menyanyikan melodi duka yang sudah lama kupendam. Aku menatap tangan-tanganku sendiri, penuh goresan yang tak kasat mata—jejak dari setiap luka yang kubiarkan membekas tanpa sembuh.
“Ibu,” panggilku pelan, memecah keheningan. Ia sedang merapikan bunga di vas keramik tua di sudut serambi, tangannya yang halus menyentuh kelopak mawar dengan lembut. "Apa artinya bertahan? Dan kapan aku harus pergi?"
Ia berhenti sejenak, lalu menoleh, matanya yang selalu teduh menatapku dalam. “Kenapa kau bertanya begitu, Nak? Apa kau sedang merasa sempit di dunia ini?”
Aku menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. “Bukan sempit, Bu, tapi seperti... sesak. Aku sudah diam, menahan semua, tapi dunia terus menggencet. Lidah mereka tajam, pandangan mereka panas. Apa aku hanya pohon yang berdiri membeku, membiarkan akarnya diinjak?”
Ia meletakkan bunga itu perlahan, lalu duduk di sebelahku. "Ngampet, Nak. Menahan itu kekuatan. Kau tidak kalah dengan diam. Kau hanya sedang menunggu badai reda."
“Tapi sampai kapan, Bu?” aku memandanginya, suaraku serak. “Sampai kapan aku harus menjadi batu, hanya diam dan membiarkan mereka berpikir aku tak merasakan apa-apa?”
Ibu tersenyum kecil, senyuman yang penuh dengan pemahaman. “Ada saatnya kau ngalih. Berpindah tempat, Nak, bukan berarti kalah. Kadang, angin mengajarkan bahwa menjauh adalah cara lain untuk bertahan. Kau bukan melarikan diri; kau mencari ruang untuk bernapas.”
Aku terdiam, menggigit bibirku sendiri. “Kalau aku pergi, mereka akan bilang aku lemah, Bu. Kalau aku diam, mereka terus datang. Dan kalau aku melawan…” Aku berhenti, menggulung ujung sarung yang kupakai.
Ibu memandangku, kali ini lebih tajam. “Kau takut mereka hancur, Nak?” tanyanya.
Aku tersenyum kecil, getir. “Tidak, Bu. Aku takut aku tak bisa berhenti kalau aku mulai.”
Ibu memiringkan kepala, sorot matanya menuntut penjelasan. Aku menelan ludah, suara hatiku terdengar lebih keras dari ombak di kejauhan. “Kalau aku mulai marah, Bu... kalau aku membiarkan amarah ini keluar, aku takut dunia di sekitarku tidak akan sama lagi. Kata-kata bisa menjadi belati, dan aku tahu betul caranya menusuk tepat di dada mereka. Tindakan bisa menjadi badai, dan aku tahu aku sanggup menghancurkan segala yang ada di hadapan. Tapi bu, maaf aku sudah mecoba memtus mata rantai ini sejak lama. Ibu ingatkan dahulu? aku sudah hampir hancur karena menahan diri, aku takut bu, takut sekali....”
Aku menatap tangannya yang masih menggenggam tanganku erat. “Aku takut, Bu, bukan pada mereka. Aku takut pada diriku sendiri. Takut bahwa sekali aku mulai melawan, aku tidak akan punya alasan untuk berhenti. Dan saat itu terjadi, aku tidak hanya melukai mereka, tapi mungkin juga diriku sendiri.”
Ibu menghela napas panjang, matanya melembut lagi. “Nak, amarah itu seperti api. Kalau kau biarkan tanpa kendali, ia akan membakar habis semua, bahkan dirimu. Tapi kalau kau kendalikan, ia bisa menjadi lentera, menerangi jalan di kegelapan. Kau tak perlu takut dengan kekuatanmu, selama kau tahu kapan dan bagaimana menggunakannya.”
Aku terdiam, kata-katanya menusuk seperti dinginnya hujan yang mulai turun. Dalam diamku, aku bertanya pada diriku sendiri: apa yang sebenarnya aku takutkan—kehancuran yang kutinggalkan, atau kehancuran yang kusimpan di dalam diriku?
Malam itu, aku berjalan di tepi dermaga. Ombak memukul-mukul tiang pancang, membawa aroma laut yang dingin. Angin berbicara, seperti menggoda amarah yang selalu kusimpan dalam-dalam.
“Kau diam lagi?” tanyaku pada diriku sendiri, sarkastis. “Berapa lama lagi kau tahan semua ini? Mereka terus datang. Lidah mereka menusuk, matanya menghina.”
Aku menendang kerikil kecil ke laut, menciptakan riak kecil di air yang gelap. “Diam itu kekuatan, katanya. Tapi kapan kekuatan itu jadi kelemahan? Mereka pikir aku batu. Mereka lupa, batu juga bisa runtuh. Dan kalau aku runtuh, jangan harap ada yang tersisa.”
Hening sejenak. Aku mendongak, menatap bulan yang hampir tertutup awan. “Semesta, apa yang kau inginkan dariku? Bertahan, pergi, atau melawan? Kalau aku ngamuk, kau tahu apa yang terjadi. Dunia berhenti. Tapi apa itu yang kau mau?”
Ombak menjawab, menerjang lebih keras, seolah mengujiku. Aku tertawa kecil, dingin. “Kau pikir aku lemah? Tidak. Aku hanya memilih untuk tidak membuat dunia hancur. Tapi kalau aku mulai, jangan salahkan aku kalau semesta ikut campur.”
Hujan mulai turun, perlahan menggantikan angin yang menggigit. Aku berhenti, memejamkan mata. Di balik suara ombak, aku mendengar kata-kata ibu yang terngiang lagi: “Dengarkan semesta, Nak. Ia akan memberitahumu kapan waktunya bertahan, kapan waktunya pergi, dan kapan waktunya melawan.”
Dan malam itu, aku mendapat jawabanku. Aku bukan batu, angin, atau badai yang merusak tanpa arah. Aku adalah laut—tenang di permukaan, tapi penuh kekuatan di kedalamannya. Laut tak pernah takut menghadapi badai, tapi ia juga tahu kapan harus membiarkan ombak menghantam dengan sendirinya.
Aku tersenyum kecil, menatap gelapnya laut yang tak bertepi. Aku tahu aku akan diam saat dunia membutuhkan kediamanku. Aku tahu aku akan pergi saat dunia membutuhkan ruang untuk menyembuhkan. Dan aku tahu, jika dunia membutuhkan badai, aku akan menjadi badai yang tak terbendung.
Semesta sudah berbicara. Dan aku mendengarnya. Aku tahu jawabannya. Jika tiba waktunya, aku tak akan ragu. Bukan hanya dunia yang akan berubah—tapi aku akan memastikan aku melakukannya dengan arah dan kendali. Karena itulah kekuatan sebenarnya: bukan melawan tanpa tujuan, tapi memilih kapan harus bergerak, dan kapan harus diam.
seperti yang sudah-sudah atau terlahir kembali, itu saja. aku hanyut, juga debu mengendarai angin...
Pomalaa, 20241230
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment