Aletheia : di 40 putaran waktu

Di altar kesunyian,
aku menanam kata yang tak ingin tumbuh.
Namun kebenaran seperti benih,
ia mengakar walau tanah menolaknya.

Aku tidak tahu pasti kapan pertama kali aku menyadari bahwa kejujuran bisa menjadi pedang bermata dua. Aku duduk di sudut ruangan diluar ruangan, sebuah pendopo kayu tua, diatas bekas taman kolam, pena yang kugenggam erat, dan pikiranku yang menyusun kisah. Di hadapanku, seorang laki-laki dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan rahasia keheningan yang dalam. Ia bukan Socrates, tapi entah bagaimana, aku melihat Socrates di dalam dirinya. Tokoh yang sejauh ini menjadikanku melihat puncak peradaban dari penciptaan manusia, setelah para Nabi dan punggawa nya tentu.

Ia tak memakai toga, tak berdiri di Agora, atau mengajarkan kebenaran pada kaum muda di pelataran filsafat. Tidak, ia hanyalah seorang manusia biasa dalam masa yang berbeda. Justru karena biasa itulah aku melihatnya luar biasa, dimana setiap langkahnya, setiap kata yang ia ucapkan, dan caranya menghadapi dunia membuatku yakin: ia adalah Socrates yang tersesat dalam waktu.
“Apakah kau tahu, dunia tidak pernah benar-benar berubah?” tanyaku.
Ia menoleh, tidak langsung menjawab, hanya mengamati. “Apa maksudmu?”

“Bahwa kebenaran yang kau perjuangkan hari ini sama dengan yang diperjuangkan Socrates. Ia mati dengan piala racunnya. Kau mati dengan sepi yang kau peluk sendiri. Dan hebatnya, bila ku boleh sebut beda, karena kematianmu yang engkau sengaja, keren sekali.”

Ia tertawa kecil, suara yang lebih seperti bisikan di tengah malam. “Tapi aku tidak mati, bukan? Aku masih hidup di sini, meskipun mereka mencoba menghapus keberadaanku.”

Mereka yang takut pada pertanyaanmu bukan musuhmu, melainkan jiwa yang belum siap menemukan dirinya sendiri.
Aku melihatnya dengan takjub. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak terdefinisikan, sesuatu yang lebih dari keberanian.

“Lalu, apa yang kau harapkan dari dunia?” aku bertanya lagi.
Ia menggeleng pelan. “Bukan dunia yang harus aku ubah. Hanya pikiranku sendiri yang perlu aku jaga tetap teguh.”

Kata-kata adalah bayang-bayang jiwa,
ia menyelinap seperti air
ke celah-celah yang retak.
Tak peduli betapa keras kau menutup pintu.

Aku, penulis tanpa aturan, yang hanya menyaksikan, mendapati diriku terjebak dalam dilema. Sosoknya, seolah menarikku untuk memahami sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kata-kata. Ia tidak mengajarkan kebenaran dengan paksaan, tapi dengan menjadi cermin bagi setiap orang yang mendekatinya. Dan dengan cermin yang sama dia tidak peduli, ketika kebanyakan orang-orang takut mendapati wajah buruk rupanya di hadapan cermin itu, meski itu adalah kenyataan. 

“Bukankah mereka membencimu karena itu?” tanyaku, ingin tahu.
“Mungkin,” katanya. “Tapi kebencian mereka bukan urusanku. Tugasku hanya bertanya dan menunggu mereka menjawab.”

Aku teringat pada kisah Socrates, yang diasingkan karena pertanyaan-pertanyaannya. Bagaimana dia di asingkan sebelum di racun karena kebenaran yang dia sampaikan tidak sampai pada hati pemuda-pemuda muridnya. Bagaimana dia di bunuh karena di tuduh meracuni pemuda dengan ajaran-ajaran sesat?. Sesat jalan yang benar menurutku, manusia awam yang mencoba menarikan tinta liarnya sendiri. Tapi bukankah dunia selalu takut pada orang yang bertanya, pada mereka yang memaksa untuk berpikir. 

http://dp13allack.blogspot.com/2024/10/musibah-terhormat-di-cawan-terakhir.html

“Lalu, bagaimana kau bertahan?”
Ia terdiam sesaat, memandangku dengan mata yang tenang. “Aku bertahan dengan keyakinanku. Dunia boleh menyerah pada kegelapan, tapi aku tidak akan menyerah pada cahaya kecil yang kubawa.”

Kebenaran itu angin,
ia datang tanpa undangan,
namun ia menyapu debu-debu,
meski kaca jendela pecah karenanya.

Aku tidak membenci mereka yang membenciku. Kebencian mereka adalah cerminan ketakutan, bukan kemarahan. Ketakutan untuk menatap diri sendiri di cermin yang aku hadirkan. Aku mengerti itu. Tidak semua orang siap menghadapi kebenaran, apalagi jika kebenaran itu menghancurkan ilusi yang selama ini mereka pegang erat.

Ada nyala kecil di sudut jiwa
Yang tak akan padam meski badai menerjang
Kebenaran adalah nyala itu
Bukan untuk menerangi dunia
Tapi untuk menyelamatkan diri dari kegelapan.

Hari berganti, dan aku terus mencatat setiap kata dan gerakannya. Dalam pandanganku, ia adalah Socrates yang hidup dalam kesunyian modern. Aku, sebagai penulis yang sekali lagi, penulis dari naskah rasaku sendiri sebebas mungkin, hanya ingin menjadi saksi, mencoba menghidupkan apa yang tak mampu dilihat orang lain.

Mungkin, suatu hari, dunia yang dulu menolaknya mulai berubah. Pelan-pelan, dari sudut-sudut yang tak terduga, orang-orang mulai mendekat. Mereka yang pernah memalingkan wajah kini bertanya, mereka yang dulu mencemooh kini mendengar. Atau mengiyakan dalam tangis renungan mereka sendiri, meruntuhkan ego diwaktu sendiri, dan aku sudah ribuan kali begitu... Jauh sebelum aku menua, jauh sebelum aku mengenalnya dan membuka lembar demi lembar tulisan tentang Socrates atau para sufi.

“Apa yang kau rasakan sekarang, ketika mereka mulai mendekat?” aku bertanya.
Ia tersenyum kecil, nyaris tanpa emosi. “Aku tak merasakan apa-apa. Karena aku tidak pernah berharap apa pun dari mereka. Aku hidup bukan untuk diterima, tapi untuk tetap menjadi diriku sendiri.”
"Aihh, memang boleh sekeren itu sebagai diri sendiri?", tanyaku sebagai iri dalam hati...

Dan mungkin akhirnya, dunia terbuka—bukan dengan gemuruh, tapi dengan bisikan. Mereka mendekat, satu per satu, membawa pertanyaan, membawa keraguan, dan ia tetap di sana, menjawab dengan kesederhanaan yang tajam.

Terang itu panas,
ia membakar kulit yang rapuh,
namun ia juga penerang jalan
bagi mereka yang tersesat.

Kata hatiku sewaktu-waktu, "Orang-orang yang benar-benar mengerti, tahu bahwa aku tidak pernah bicara untuk melukai. Aku bicara karena aku peduli. Kejujuran, bagiku, adalah bentuk tertinggi dari cinta. Tapi cinta itu seringkali ditolak, diusir, bahkan dihancurkan oleh mereka yang terlalu takut untuk menerima apa yang aku bawa", Kataku ketika aku menjadi dia...

Aku tidak marah. Aku hanya merasa getir. Karena dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik jika saja lebih banyak orang yang berani berkata benar. Ujarku sebagai dia di waktu selanjutnya...

Kejujuran adalah api yang tak padam,
ia bisa kecil, bisa besar,
namun ia selalu hidup
di hati mereka yang berani.

"Untuk kalian yang memilih diam, aku tidak menyalahkan kalian. Aku tahu beratnya menghadapi konsekuensi dari kebenaran. Tapi ingatlah, ketika dunia akhirnya berantakan karena kebohongan, kalian akan mencari terang yang selama ini kalian hindari", lanjutku lagi sebagai dia 

“Kejujuran bukanlah senjata, melainkan obat. Ia mungkin pahit, namun hanya dengan itulah luka bisa sembuh. Jangan takut untuk jujur, bahkan ketika dunia memintamu diam.”

Keberanian bukan tentang menang,
tetapi tentang berdiri tegak,
bahkan ketika kau tahu
kau mungkin akan jatuh.
Waktu membawa kita meniti usia, dan kini kau tiba di titik yang disebut "kepala empat". Sebuah angka yang menyiratkan kebijaksanaan, kedewasaan, dan pencapaian. Tapi bagiku, angka hanyalah pengiring, karena nilai dirimu tak pernah terukur oleh usia.
Kau adalah teman yang unik. Tidak banyak di dunia ini diwarisi karaktermu, bahkan aku, bahkan aku, yaaa... bahkan aku baru dua atau tiga kali bertemu denganmu di jiwa dan tubuh lain. Di balik sikapmu yang mungkin sering disalahartikan sebagai keras, aku melihat sosok yang tulus dan apa adanya. Kau adalah orang yang jujur, blak-blakan, dan tanpa topeng, membawa logika yang kokoh serta iman yang tak tergoyahkan. Kejujuranmu adalah cahaya, meskipun kadang menyilaukan bagi mereka yang takut pada kebenaran. Bagi banyak orang, mungkin sulit memahami caramu membawa diri, namun bagiku, kau adalah rumah bagi kehangatan dan ketulusan.

Di usia ini, kau bukan hanya bertambah tua,
Tapi bertambah makna, dalam segala asa.
Kau adalah bukti bahwa hidup tak harus selalu lunak,
Tapi harus selalu benar, penuh cahaya dan jejak.

Teman, di dunia ini kau telah menjadi sosok yang menginspirasi. Dari dunia yang mungkin belum kau tahu, aku ingin menitipkan harapan: tetaplah menjadi lelaki yang kuat namun lembut, tegas namun bijaksana seperti yang sudah, dan tetaplah dengan caramu sampai kau bertemu jalan lain yang ingin kau tempuh...

Semoga kau terus melangkah dengan keyakinan, membangun mimpi dan menciptakan damai. Semoga di usia ini, hidupmu dipenuhi cinta, rezeki yang melimpah, dan perjalanan yang penuh arti. Tetaplah menjadi dirimu, seorang sahabat sejati yang membuatku merasa diterima apa adanya.

Di antara riuh zaman
Ada sunyi yang harus dijaga
Bukan untuk mereka,
Tapi untuk jiwa yang tak ingin menyerah.
Di dunia yang menutup mata
Kebenaran tetap bernapas,
Sekalipun dalam gelapnya.

"Ada di sini, di sudut hati yang tak terlihat,
Doaku selalu mengalir untukmu.
Karena persahabatan kita adalah kekal,
Dalam segala dimensi yang kita tak pernah tahu."

Selamat ulang tahun, kawan. Kepala empat adalah awal dari perjalanan baru yang luar biasa. Mari kita terus berbagi tawa, cerita, dan makna. Terima kasih telah menjadi kamu.

Lalu, tanpa perayaan atau sorak-sorai, ia berjalan pergi. Tidak ada keagungan di langkahnya, tapi aku tahu, dunia telah berubah sedikit demi sedikit karena jejak yang ia tinggalkan. Dan aku, penulis yang hanya menjadi saksi, duduk di mejaku dan menulis kalimat terakhir sebagai ucapan paling sederhana dari kerapuhan pena:

Hidup bukan untuk diterima. 
Hidup adalah keberanian untuk tetap berdiri, 
meski dunia menolakmu.
Kebenaran tidak pernah mati. 
Ia hanya menunggu hati 
yang berani untuk menemukannya...

Pomalaa, 20250115
Bandung, 19850115
FDP-Matahari malam
duiCOsta_hatihati 


Comments

Popular Posts