eudaimonia
Seorang faqir di ujung jalan,
Menatap bintang di atas dahan.
Katanya, "Dimana cahaya yang kucari?
Apa aku salah membaca arti?"
Angin menjawab dari balik daun,
"Cahaya itu bukan di atas awan.
Ia bukan di kitab yang kau dekap,
Tapi di langkah yang tak pernah gelap."
Faqir tertawa, sedikit masygul,
"Lalu kenapa aku sering terpukul?"
Angin tersenyum, "Kau hanya belajar,
Melihat terang lewat celah sengkar."
Dan malam itu ia pulang perlahan,
Bukan membawa jawaban di tangan,
Hanya rasa cukup dalam keraguan,
Sebab yang dicari ada di perjalanan.
"Manusia berburu makna, sementara aku melepaskannya," gumamnya dalam hati.
Ia berbicara pada dirinya sendiri, suara yang hanya ia dengar dalam sunyi.
"Apa gunanya? Jika hidup ini hanya jalinan harapan yang selalu putus, apakah aku harus terus merajutnya? Harapan adalah jerat, dan aku sudah cukup terluka untuk tahu bahwa melepaskannya adalah satu-satunya kebebasan."
Ia berdiri, membuka jendela, membiarkan angin malam masuk, menyentuh wajahnya yang lelah. Kepada alam semesta, ia berbisik.
"Engkau yang tak terbatas, mengapa kau ciptakan aku dengan hati yang selalu haus, namun tak pernah benar-benar penuh? Apa rahasia dari kehampaan ini? Apakah ini cinta, atau hanya permainan takdir yang kejam?"
Angin berembus, seolah menjawabnya dengan ketidakpedulian yang lembut. Ia tertawa kecil, pahit namun tulus.
"Ah, aku lupa. Kau adalah cermin dari keberadaan. Tidak peduli, tidak memihak, hanya menjadi apa adanya. Mungkin aku yang salah, selalu berharap jawaban dari sesuatu yang tak pernah menjanjikannya."
Rindu itu datang lagi, seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Ia menatap rindu itu, seperti seorang kekasih yang tak lagi diinginkan, namun masih terus datang mengetuk.
"Rindu, kau adalah ironi. Kau menghidupkanku sekaligus membunuhku. Kau adalah nyala kecil dalam kegelapan, namun kau juga api yang membakar habis. Mengapa kau terus mengejarku, ketika aku telah menyerah? Ataukah memang ini tugasmu—untuk memastikan aku tak pernah lupa bahwa aku hanya manusia yang selalu kehilangan?"
Di tengah kehampaan itu, ia berbicara pada dirinya sendiri, lebih mesra dari sebelumnya.
"Apa yang sebenarnya kau cari, wahai diriku? Bukankah kau tahu bahwa semua ini hanya pantulan? Semua yang kau kejar adalah bayang-bayang. Manusia, cinta, bahkan ketenangan—semua itu fana. Yang abadi hanyalah kau, dalam penerimaanmu."
Ia menutup matanya, menarik napas panjang. Tidak ada air mata, tidak ada kemarahan, hanya lelah yang menggenang. Dalam sunyi itu, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia cari—hakikat bahwa kebebasan sejati ada dalam penerimaan tanpa syarat.
"Aku tak lagi berharap, karena harapan adalah rantai. Aku tak lagi melawan, karena perjuangan hanya ilusi. Aku diam, aku menerima. Dan mungkin, dalam diam ini, aku benar-benar hidup."
Tidak ada hirau soal tumbuhnya pohon,
Kala akar menyusup dalam tanah diam,
Kala dahan merentang melawan kelam,
Hidupnya sunyi, tak pernah disalam.
Bahkan setelah dia tinggi besar dan menjulang,
Memberi teduh pada tanah yang gersang,
Burung-burung bersandar, angin berbisik tenang,
Namun tak satu jiwa menoleh pulang.
Tapi begitu dia tumbang,
Semua semesta tak berhenti membicarakannya,
Rindu serupa gema pada yang hilang.
Dan pohon itu hanya diam,
Menatap hirau yang datang terlambat pulang.
Waktu berlalu, dan dunia terus berputar. Namun, laki-laki itu tak lagi peduli. Baginya, keberadaan adalah cukup, tanpa perlu alasan, tanpa perlu makna. Ia duduk dalam pelukan sunyi, menjadi satu dengan dirinya sendiri, dengan alam semesta, dan dengan rindu yang tak pernah selesai.
Pomalaa, 20250108
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment