suwung di awal-ujung lelana
Jabang lahir ke dunia ini dengan sepi, belum mengenal kegelisahan atau harapan. "Apa yang akan dunia berikan padaku?" tanyanya dalam hati, meski tangis pertama adalah jawabannya. Alam semesta tidak memberikan jawaban, tetapi membiarkannya tumbuh dalam gelap, hingga suatu saat ia mampu melihat cahaya sendiri. Dalam kesendirian itu, ia bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku siap untuk menempuh jalan yang telah ditentukan?"
Seperti embun yang jatuh tanpa suara,
Jabang menunggu dengan penuh asa,
Dalam sunyi, dunia berbicara,
Ia baru mulai mengerti, di ujung tangisnya,
ada harapan yang tak terucap.
Tunasari tumbuh di sepanjang jalan yang berliku, seperti akar yang mencari tanahnya. "Adakah tempat yang bisa menahan semua pertanyaan ini?" tanyanya pada pohon yang rindang. Alam semesta hanya menggelengkan daun-daunnya, membiarkannya tumbuh dan terus mencari. "Kau akan mengerti suatu saat nanti," bisik angin. Ia merasa tumbuh, tetapi juga semakin sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah bagian dari perjalanan, bukan untuk dijawab.
Daun bergetar, tanah bersuara,
Tunasari membuka matanya,
Di antara sunyi, ia mencari arah,
Hidup ini adalah pertanyaan,
Setiap jawabnya terpendam dalam jiwa yang lelap.
Ia pun mencari rengkuh, sebuah pelukan yang dapat melindunginya dari badai yang tak terlihat. "Di manakah tempat yang bisa menyembuhkan luka ini?" tanyanya kepada bebatuan yang ada di jalan. Batu-batu itu diam, tetapi dengan ketegarannya memberi tahu bahwa pelukan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari penerimaan dalam diri sendiri. "Kekuatan terletak pada penerimaan," bisik hati kecilnya.
Batu-batu diam, namun tak henti berbicara,
Mereka mengingatkan akan teguh
Pelukan sejati ada dalam diam, rengkuh
Dalam pertemuan jiwa dengan segala luka,
Yang memberi kekuatan untuk bertaruh
Dalam perjalanan waktu, ia merasakan sangkala, perjalanan yang dipenuhi tanda-tanda yang harus dibaca dengan hati. Waktu tidak pernah menunggu siapapun, dan saat ia menyadari bahwa ia terhanyut dalam alirannya, ia bertanya pada angin, "Ke mana aku harus pergi?" Angin hanya berbisik, "Ke mana pun kau pergi, waktu akan terus bergerak, dan kau tak bisa menahannya."
Waktu berjalan, tiada berhenti,
Tanda-tanda datang tanpa suara,
Sangkala adalah jalan yang tak pernah usai,
Dalam setiap detik, kita menemukan perjalanan,
Tak bisa berdiam, hanya bisa mengikuti aliran.
Di jalan selanjutnya, ia merasakan lelana, sebuah pengembaraan yang tidak terarah, tetapi penuh makna. "Apakah perjalanan ini akan membawa jawaban?" tanyanya pada air yang mengalir tenang di sungai. "Jawaban adalah ilusi," jawab air, "Hanya perjalanan yang nyata, karena setiap langkahmu adalah bagian dari takdir yang lebih besar."
Air mengalir dengan tenang,
Tak pernah menanyakan ke mana,
Lelana ini adalah perjalanan,
Bukan untuk mencari akhir,
Tetapi untuk menemukan dirimu yang hilang.
Lalu, ia tiba di sangkutmaut, persimpangan di mana ia harus memilih antara dua jalan yang tidak jelas. "Apa yang harus aku pilih?" tanyanya pada langit yang mendung. Langit hanya diam, tetapi petir menyambar dan menjawab, "Tak ada pilihan yang salah, setiap jalan akan mengajarkanmu sesuatu." Ia menarik napas dalam-dalam, menerima kenyataan bahwa keputusan adalah bagian dari perjalanan, bukan titik akhir.
Langit menggelap, petir berbicara,
Di persimpangan, ia memilih dengan hati,
Tak ada jalan yang benar-benar sepi,
Semua jalan akan membawa pada pencarian,
Dan pada akhirnya, semua jalan menuju pulang.
Sangkutmaut pepasti...
Setelah melewati banyak jalan, ia menemukan sendari, sebuah cahaya lembut yang tak pernah mencolok, tetapi cukup untuk membimbingnya. "Apakah ini cahaya yang aku cari?" tanyanya pada bintang-bintang di langit. Bintang-bintang menjawab dalam bisikan angin malam, "Cahaya yang kau cari ada dalam dirimu, dan setiap langkahmu mendekatkanmu padanya."
Bintang-bintang bersinar lembut,
Menyinari langkah yang telah hilang arah,
Sendari adalah cahaya dalam diri,
Bukan cahaya yang memimpin,
Tetapi cahaya yang menuntun hati yang tenang.
Ia merasakan kedamaian dalam sahaja, ketenangan yang datang dengan penerimaan penuh. "Aku tak lagi mencari, aku hanya menerima," katanya pada langit yang tak terhingga. Alam semesta membalas dengan angin sejuk yang datang begitu lembut, seolah mengerti bahwa ia telah menemukan tempatnya.
Dalam kedamaian, ia menerima segala yang datang,
Sahaja adalah ketenangan dalam kekosongan,
Segala yang dicari telah ditemukan,
Segala yang hilang telah kembali,
Dan dalam kebahagiaan ini,
Dia bernafas lega.
Akhirnya, ia menemukan suwung, bukan sebagai kekosongan, tetapi sebagai kepenuhan yang melampaui kata-kata. "Aku pulang," katanya pada diri sendiri, "Ke tempat yang aku cari tanpa tahu apa itu." Alam semesta menjawab dengan keheningan, dan bebatuan di sekitar jalan membisu, menyaksikan perjalanan panjangnya. Dalam suwung, ia tahu bahwa perjalanan ini telah mengajarkannya untuk hidup dalam keheningan dan menerima takdir dengan sepenuh hati.
Dalam suwung, tak ada lagi yang dicari,
Karena ia telah menemukan apa yang tak terucapkan,
Kekosongan itu adalah kepenuhan,
Dan dalam keheningan, ia pulang,
Kembali ke rumah yang sejati.
Gung liwang-liwung ing awang suwung.
Pomalaa, 20250131
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment