atma jnana

Sekali lagi, surga yang tak sejalan dengan jalan pikiranmu harus dibumihanguskan dengan api neraka. Begitu pula sebaliknya, bila neraka mencoba mengganggu perjalanan getir pahitnya harapan, akan aku siram dengan hujan dari telaga surga.

Aku lelaki, dan lelaki adalah pelaut yang menyeberangi samudra tanpa peta, dengan bintang-bintang yang sering kali mengejek rute pilihannya. Jika kau tanya aku tentang akhir, aku hanya bisa berkata: akhir adalah pangkal yang terbungkus misteri. Maka biarkan aku tentukan sendiri jalur tangis dan tawaku sendiri, tanpa peduli bisik suara atau teriakan histeris alam semesta.

Ada mereka yang menyebutku gila, seperti angin yang berbicara dengan ombak. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa langkah ini bukan milikku, melainkan titah dari Sang Pemilik Langit? Aku hanya seorang pengembara dalam labirin jiwa, menggali arti di balik paradoks yang menghiasi setiap tarikan napas.

Dalam tanya, aku mencari,
jawab pasti hanya mati,
Surga dan neraka beradu arti,
hingga damai melahirkan anak kandungnya,
bernama sunyi.
Aku sadar, sapa, kerling mata dan senyum tak akan pernah diterima utuh. Karena jalan ini lebih menyerupai cermin retak; siapa yang melihatnya hanya melihat pecahan dirinya sendiri. Aku tidak meminta dipahami. Hanya, izinkan aku membakar segala prasangka dengan api cinta yang kusebut neraka, atau  menyirami debunya dengan hujan peluk rindu, yang keberi nama surga.

Sudah ribuan diam mengguruiku cara setia meski setubuh menggoda , mendua lebih seru katanya...
“Kau sudah berdamai dengan dirimu, maka jangan gentar. Jika seluruh dunia menudingmu sesat, jadilah sesat dalam kebenaranmu.”

Aku sering bertanya, bukan untuk dijawab karena disaat bersamaan pertanyaan lahir kembar dengan pernyataan, “Mengapa aku harus melintasi jalan ini?”
Jawabannya sering kali sederhana tapi menusuk: “Itu urusanKu, bukan urusanmu. tapi kamu hanya perlu tau, Karena kau mampu.”
Mampu bukan berarti tak pernah goyah. Mampu adalah berani jatuh dan tetap bangkit, meski berkali-kali meski tanpa berhati-hati. 

Hidup adalah tentang menerima. Menerima jalan yang tak selalu lurus, menerima luka yang tak selalu bisa dijahit. Dan yang paling sulit: menerima bahwa tak semua akan mengerti perjalanan ini. Tapi bukankah penerimaan itu sendiri adalah bentuk dari kemenangan?

“Tuhan, apakah aku telah melawan takdir?” tanyaku dalam kesunyian.
Tak ada suara, hanya gema yang kembali, seperti gelombang yang terpantul dari dinding gunung. Namun dalam diam itu, aku mengerti. Melawan takdir bukan berarti menghancurkannya, melainkan menari di atas garisnya.

“Apa yang kau cari, sebenarnya?” tanyaku pada diriku sendiri.
“Bukan jawaban,” diriku menjawab. “Hanya jalan.”

Bukan surga ku cari, ku tuju. Bukan neraka ku caci, ku hindari. Yang aku bawa hanyalah lentera kecil, cahayanya redup tapi cukup untuk satu langkah lagi. Dan jika kau tanya ke mana arah lentera ini, aku hanya akan menjawab: ke tempat yang kau cari sejak awal, meski namanya berbeda dalam setiap lidah manusia.

"Tuhan, jika Kau tahu aku lemah, mengapa Kau memberi jalan yang terjal?" bukankah sudah ada Iblis dengan peran perkasa?
Dan Tuhan menjawab dalam gema doa: "Karena Aku tahu, di balik lemahmulah ada kekuatan yang belum kau sadari."

Api membakar, hujan menyembuhkan,
di antaranya, aku berjalan.
Bukan siapa yang benar atau salah,
hanya siapa yang berani menerima,
di tengah derasnya
selalu ada jeda diantara tajam menghujam,
disanalah kaubtemu maha luasnya hujan.

Aku sering berbicara dengan semesta, bertanya tentang arah, tentang tujuan.
“Semesta, mengapa aku selalu merasa terasing?” tanyaku suatu ketika.
Semesta menjawab lewat daun gugur: “Karena engkau adalah musim yang berbeda, tak semua ranting memahamimu.”

Aku paham kini, bahwa setiap jalan terjal, setiap luka yang menganga, adalah caranya membentuk diriku. Aku bukanlah batu yang tak tergoyahkan, melainkan tanah liat yang dibentuk oleh tanganMu. Tangan dalam wujud peristiwa dan juga ruang dalam wajah renungan.

Surga dan neraka bukan dua tempat. Ia adalah satu jalan, dan kau yang menentukan ujungnya. Maka biarkan aku, dengan lentera kecil ini, melangkah dalam gelap. Karena meski cahaya ini redup, ia cukup untuk satu langkah lagi. Dan langkah ini adalah bukti bahwa aku hidup, bukti bahwa aku percaya: tak peduli seberapa gelap malam, fajar akan selalu datang. Sampai pada akhirnya saat perjalananmu sampai, kau sadar dan terjaga dari pulasnya tidur dan mengigau "Gelap, malam, diam, fajar, terik, senja dan hujan adalah wajahmu dalam cermin lain".

Pomalaa, 20250110
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts