semeru-rinjani

Hidup ini sering kali menyerupai pendakian gunung yang berat namun penuh keindahan di setiap jengkalnya. Seperti mendaki Semeru dengan surga kecilnya di Ranu Kumbolo, atau menaklukkan Rinjani dengan puncaknya yang memeluk Segara Anak. Setiap langkah adalah taruhan antara tubuh yang lelah dan hati yang memaksa untuk terus maju. Tak jarang, dalam pendakian itu, aku bertanya-tanya, untuk apa semua ini? Apakah keindahan di ujung perjalanan cukup untuk membayar segala luka dan usaha?

Langkah pertama kujejakan di kaki Semeru. Dalam senyap, aku berbicara pada tanah yang kupijak.
"Apa kau akan mengizinkanku melewatimu? Atau, seperti hidup, kau hanya akan memberiku rintangan untuk membuatku menyerah?"
Tanah itu tidak menjawab, tetapi desiran angin di sela debu dan kerikil seperti berbisik:
"Aku tidak melarangmu lewat, tetapi aku juga tidak menjanjikan kau akan sampai. Jangan hanya bertanya pada jalanku, bertanyalah pada kakimu sendiri."

Aku mendaki, melawan berat tubuh, beban di pundak, dan suara-suara di kepala yang menyuruhku berhenti. Udara semakin tipis, seolah-olah paru-paruku sedang diuji kekuatannya. Di tengah perjalanan, aku berhenti di bawah pohon besar yang akarnya mencengkeram tanah berbatu.
"Bagaimana caramu bertahan?" tanyaku pada pohon itu.
Pohon itu tidak berbicara, tetapi ranting-rantingnya yang melawan angin memberikan jawaban:
"Aku tidak memilih tempatku tumbuh," katanya melalui diam yang menohok. "Aku hanya menerima. Dan dari penerimaan itu, aku belajar menjadi kuat."

Setiap pendakian memiliki surga kecilnya. Di Semeru, Ranu Kumbolo menjadi jeda sempurna, tempat kelelahan berubah menjadi rasa syukur. Di tepian air yang tenang itu, aku menatap bayangan diriku sendiri. Refleksi itu bertanya:
"Sejauh ini, apa yang sudah kau tinggalkan, dan apa yang masih kau kejar?"
Aku terdiam, membiarkan pertanyaan itu menggema. Dalam hidup, seperti di pendakian, kita sering terjebak antara meninggalkan masa lalu dan mencari tujuan di depan. Ranu Kumbolo bukanlah tujuan akhirku, tetapi ia adalah tempat untuk merenung, untuk mengambil napas sebelum langkah berikutnya.

Di perjalanan lainnya, aku mendaki Rinjani. Pendakian ini lebih keras, lebih tajam. Setiap tanjakan seperti menghancurkan keinginan untuk maju. Kabut tebal menyelimuti pandanganku, seolah-olah ingin membuatku tersesat. Aku berbicara pada kabut itu:
"Kenapa kau menutupi jalanku? Bukankah aku sudah cukup lelah?"
Kabut menjawab dengan dingin, menyusup hingga ke tulang:
"Jika jalanku terlihat jelas, apa kau masih merasa pendakian ini berarti?"

Langkahku terhenti oleh batu besar yang menghalangi jalur. Aku marah, menendang batu itu, tetapi ia tidak bergeming.
"Kenapa kau di sini, membuat segalanya lebih sulit?"
Batu itu diam lama, lalu menjawab:
"Aku bukan musuhmu. Aku hanyalah ujian. Jika kau tidak bisa melewatiku, kau tidak pantas untuk melanjutkan."

Ketika akhirnya aku mencapai puncak dan melihat Segara Anak di kejauhan, rasa lelah itu hilang. Keheningan puncak memberikan ruang bagi pikiranku untuk berbicara. Dalam sunyi itu, aku mengerti: hidup ini tidak pernah berhenti memberimu tanjakan, kabut, dan batu besar. Namun, di antara semua itu, selalu ada Ranu Kumbolo untuk merefleksi diri dan Segara Anak untuk menemukan kedamaian.

Malam pergantian tahun, seperti pendakian yang sudah kulalui, menjadi jeda dalam perjalanan panjang hidupku. Aku duduk di tepi waktu, menatap kembali perjalanan yang penuh luka dan tawa. Tahun ini adalah Ranu Kumbolo bagi jiwaku, tempat di mana aku merenung tentang apa yang telah kulewati dan apa yang ingin kukejar.

Aku bertanya pada malam yang sunyi:
"Apa artinya semua ini?"
Jawaban itu datang, samar seperti gema di lembah:
"Kau tidak mendaki untuk melarikan diri dari dunia. Kau mendaki untuk menemukan dirimu sendiri."
Tahun baru adalah tanjakan baru. Aku tahu akan ada kabut yang menyelimuti, kerikil yang membuatku tergelincir, dan batu besar yang menghalangi jalanku. Tetapi, seperti pendakian yang mengajariku, aku tidak takut. Aku hanya berharap memiliki langkah yang kuat, hati yang lapang, dan mata yang mampu melihat keindahan bahkan di tengah badai.

Dan di atas segalanya, aku belajar untuk bersyukur. Bersyukur atas setiap jejak yang telah terukir, entah itu di jalur yang lembut atau berbatu. Bersyukur pada hidup, yang meski sering kali penuh liku dan kesulitan, selalu memberi warna yang beragam—warna yang menjadikan perjalanan ini bermakna.

Hidup ini, dengan segala rintangannya, adalah anugerah yang tidak ternilai. Setiap luka yang menyembuhkan, setiap peluh yang mengering, dan setiap tawa yang menghapus air mata adalah bagian dari cerita yang indah. Mari kita terus mendaki, terus melangkah, dengan kesadaran untuk mensyukuri setiap detail perjalanan ini.

Selamat tahun baru. Mari kita mendaki lagi, karena di setiap tanjakan, meski berat, selalu ada surga kecil yang menanti. Dan di setiap langkah yang kita ambil, kita menjadi lebih dekat pada versi terbaik dari diri kita sendiri. Dan yang terpenting, mari kita selalu bersyukur, karena sejauh ini, kita telah diberi kesempatan untuk menjalani hidup—dengan segala keindahannya.

Pomalaa, 20250101
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts