ars vitae

Saat kau sendiri, apa yang benar-benar kau rasakan? Sepi atau kosong? Apakah keduanya sama, atau justru berbeda dengan makna yang tak pernah benar-benar kita pahami? Sepi, mungkin, adalah ruangan tanpa suara, sedangkan kosong adalah ruangan tanpa isi. Lalu, bagaimana jika keduanya datang bersamaan? Saat sendiri, kau bebas memilih. Kau bisa merangkul sunyi, atau mencoba mengisinya dengan dirimu sendiri. Karena pada akhirnya, saat-saat itu adalah momen paling sempurna untuk berterima kasih pada dirimu yang telah bertahan sejauh ini.

Pulang adalah perjalanan,
tak selalu menuju rumah,
kadang menuju hati yang sepi,
atau jiwa yang mencari arti,
meski mungkin
berujung pada puncak
kebingungan hakikat!!
Di pagi yang lengang, aku duduk di sudut kamar, mencoba menghitung hari-hari di mana aku merasa cukup. Tak banyak. Dunia ini penuh dengan tuntutan, ambisi, dan perbandingan yang membuat kata "cukup" terdengar utopis. Tapi pagi ini, aku berani berkata, "Terima kasih, aku telah melakukan yang terbaik." Meski suaraku gemetar, meski di baliknya ada segumpal rasa ragu.

Aku bertanya pada diriku, "Apakah cukup?" Tentu belum. Tapi apakah aku serakah karena terus bergerak? Tidak, hidup adalah gerak. Tubuh dan pikiran yang berhenti, apa bedanya dengan kematian?

"Tapi bukankah kematian juga sebuah kepulangan?" Suara dalam diriku bertanya.

Aku terdiam, lalu menjawab, "Pulang itu ada waktunya. Hidup adalah ruang untuk bergerak, bukan untuk diam menunggu pulang."

Malam tiba tanpa janji,
membawa mimpi atau gelisah,
ia tak pernah bertanya
mengapa kita tak lagi percaya.

Aku sadar, kerugian terbesar seorang manusia bukanlah gagal mencapai puncak, melainkan saat ia berhenti belajar, berhenti memberi, dan berhenti mencoba memahami hidup yang terus berubah. Karena dunia ini, sebesar dan serumit apa pun, tidak bergerak menunggumu.

Hidup adalah serangkaian paradoks. Kita ingin bermain seperti anak kecil, tapi terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa bagaimana caranya. Kita ingin pulang ke rumah sederhana di senja hari, tapi malah sibuk mengejar apa yang tak pernah bisa kita miliki. Kita mendamba kekosongan sesekali, tapi takut terjebak dalam kesepian yang abadi.

Gelap bukan musuh,
ia adalah ruang
di mana kita belajar
membaca bayang-bayang.
saat yang tepat untuk bersetubuh
dengan dirimu sendiri. 

Bukankah hidup ini melelahkan? Bukankah hidup ini kadang terasa seperti permainan tanpa aturan? Orang-orang muda mati ditembak, ibu-ibu menangis kehilangan anaknya, sementara kita tetap duduk di depan layar, mengucapkan belasungkawa yang tak pernah benar-benar menyentuh apa pun. Kita tahu dunia ini tak adil. Tapi kita terus hidup.

Dan di sinilah absurditas itu: hidup menawarkan pilihan, tapi tak semua pilihan itu indah. Kau ingin menyeret mereka yang menembak pemuda tak berdosa ke tiang gantungan, tapi sadar itu hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan baru. Kau ingin berteriak bahwa hidup ini tidak adil, tapi tak ada yang mendengarkan. Akhirnya, kau diam. Diam dalam marah, diam dalam putus asa, diam dalam rasa lelah yang menggigit tulang.

Diam adalah napas panjang,
seperti pohon tua
yang tetap berdiri,
meski daunnya gugur satu-satu.

Namun, apakah diam adalah akhir dari segalanya? Tidak. Diam adalah jeda. Sebuah ruang kosong yang bisa kau isi kembali dengan makna.
Akhir-akhir ini, ada suara-suara yang berkata, "Kita boleh kok jadi biasa-biasa saja. Tidak perlu berusaha terlalu keras." Aku merenungkan kalimat itu lama sekali. Mungkin mereka benar, hidup tak harus berlomba. Tapi aku juga tahu, ada orang-orang yang tak punya kemewahan untuk hidup biasa-biasa saja.

Bagaimana jika kau lahir di tengah keterpurukan? Bagaimana jika dunia ini terus menuntut lebih, bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk orang-orang yang kau cintai? Apakah kau akan tetap memilih biasa-biasa saja?

"Apa yang kau cari?" Suara lain di dalam diriku bertanya.

Aku menjawab, "Keadilan. Kesetaraan. Sesuatu yang membuat hidup ini lebih layak dijalani."

"Apakah itu mungkin?"

Aku terdiam, lalu menjawab lirih, "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu aku harus mencoba."

Menerima adalah seni,
membuka tangan untuk luka,
dan membiarkan matahari
mencium bekasnya perlahan.

Aku memilih bertumbuh. Karena bertumbuh bukan soal menjadi lebih baik dari orang lain, melainkan menjadi lebih baik dari diriku sendiri.

Di akhir hari, kita semua ingin pulang. Bukan ke rumah yang mewah, bukan ke tempat yang penuh pujian. Kita ingin pulang ke dalam diri kita sendiri. Duduk di sebelah jendela, menatap lapangan bola atau apa saja yang tak memiliki makna, dan merasa cukup.
Hidup adalah rangkaian paradoks. Kita berlari untuk mengejar sesuatu, hanya untuk menyadari bahwa yang benar-benar kita cari adalah ketenangan. Dan ketenangan itu bukan di luar sana, melainkan di sini, di hati kita sendiri.

Malam ini, aku memilih untuk pulang. Aku memilih untuk berterima kasih pada diriku yang telah melangkah sejauh ini. Mungkin aku belum sampai di tempat yang kuimpikan, tapi aku sudah bergerak.

Dan di akhir hari, bukankah itu yang benar-benar penting?

Kesunyian berbisik pelan,
mengajari jiwa yang lelah
untuk menemukan cahaya
di dalam gelapnya diri.

Hidup adalah perjalanan penuh paradoks yang tak bisa dihindari. Kita mencintai gerak, tapi mendambakan jeda. Kita mengejar kesuksesan, tapi takut kehilangan makna. Kita ingin pulang, tapi tak pernah benar-benar tahu di mana rumah itu berada. Maka, mungkin jawaban dari semua ini bukanlah berhenti, bukan pula terus berlari tanpa arah, melainkan menerima. Menerima bahwa hidup tidak selalu harus dimengerti, cukup dijalani. Karena pada akhirnya, segala kepingan misteri itu akan membentuk gambaran utuh yang hanya bisa kita pahami ketika semuanya telah selesai.

Pomalaa, 20250111
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts