hujan di ambang waktu
Hujan turun sejak sore, menjelang akhir tahun. Langit memunggungi matahari yang tenggelam terlalu dini, meninggalkan warna abu-abu yang pekat. Udara dingin, menggigit kulit, namun menenangkan seperti pelukan yang terlalu lama terlupakan. Aku duduk di beranda, memandang halaman yang berubah menjadi cermin. Genangan-genangan kecil memantulkan bayanganku, yang terasa asing di tengah gemuruh hujan.
“Hidup dimulai dengan paradoks: lahir dengan tangan mengepal, menangis keras, sementara dunia di sekitar kita tertawa riang. Barangkali itu cara hidup berkata, ‘Ini bukan perjalanan yang mudah, tetapi kau akan belajar menyukainya.’”
Hujan selalu punya cara untuk membuat waktu melambat. Setiap tetesnya mengetuk atap, seolah mengucapkan pesan: "Berhenti sejenak, dengarkan." Dan aku mendengarkan. Ada bisikan halus di balik rintik-rintiknya, seakan-akan hujan tahu sesuatu yang aku lupa—bahwa setahun penuh telah berlalu, dan aku masih di sini, mencari makna di antara kehilangan dan harapan.
“Perjalanan adalah naskah yang ditulis dengan langkah-langkah kita sendiri. Kadang halaman-halamannya robek, kadang terlalu tebal dengan kebahagiaan, tetapi setiap bab adalah milik kita sepenuhnya.”
Semalam, di bawah hujan yang tak kunjung reda, aku terjaga. Ada sesuatu yang terasa berat di udara, seperti langit sedang menangisi apa yang tak mampu aku ungkapkan. Mungkin ia tahu, tahun ini adalah tahun yang penuh luka. Kehilangan, kekecewaan, dan kegagalan berdansa di benakku, seperti bayangan yang enggan pergi. Namun, di sela-sela hujan itu, ada jeda. Sebuah ruang kecil yang memanggilku untuk berdamai.
“Hujan adalah pesan dari langit kepada bumi: meski jatuh, setiap tetes memiliki tujuan. Dan manusia, dalam kehilangan sekalipun, adalah bagian dari tujuan itu.”
Aku memejamkan mata, mendengar suara hujan yang semakin lemah. "Apa yang kau bawa dari tahun ini?" tanya waktu dalam kesunyian malam. Aku berpikir, mengingat, dan menyadari bahwa tak semua luka itu sia-sia. Mereka, seperti hujan, meresap ke dalam tanah, memberi kehidupan yang tak terlihat.
“Senja adalah pelajaran tentang keindahan yang berakhir. Ia berkata, ‘Tidak apa-apa selesai, selama kau meninggalkan jejak terang di langit.’”
Pagi datang dengan perlahan, membawa sisa mendung. Hujan telah berhenti, namun aroma tanah basah masih terasa. Udara dingin menyusup, namun damai, seperti bumi baru saja menarik napas panjang setelah malam yang berat. Aku melangkah keluar, membiarkan kakiku menyentuh tanah yang lembab. Genangan kecil di halaman memantulkan langit kelabu, sisa hujan semalam yang belum sepenuhnya hilang.
“Malam adalah rahasia waktu yang paling setia. Dalam gelapnya, kita belajar bahwa terang tidak pernah benar-benar hilang, hanya bersembunyi untuk kembali esok pagi.”
“Pagi adalah guru kesabaran. Ia tidak pernah tergesa, tetapi selalu tiba, membawa janji baru meski melalui sisa-sisa badai semalam.”
Hari pertama tahun baru. Tidak ada terompet atau kembang api di sini, hanya suara angin dan gemerisik daun yang berguguran. Aku berdiri di tengah keheningan ini, membiarkan sisa air hujan mengalir di antara jari-jari kakiku. Di sinilah waktu terasa paling nyata—tidak dalam kegembiraan pesta, tetapi dalam kesunyian yang penuh makna.
“Terik matahari tidak pernah meminta pengakuan. Ia hadir apa adanya, mengajari kita untuk tetap berjalan, bahkan ketika semua terasa terlalu panas. Karena di ujung jalan, ada bayang-bayang yang kita ciptakan sendiri.”
“Kehilangan bukan tentang apa yang pergi, tetapi tentang apa yang tersisa untuk kita jaga. Ia adalah cermin yang mengajarkan arti dari memiliki.”
Hujan semalam mengajarkanku bahwa segala sesuatu memiliki hakikatnya. Kehilangan mengajarkan keikhlasan, kegagalan mengajarkan kerendahan hati, dan harapan mengajarkan keberanian. Dan pagi ini, aku berdamai dengan semua itu. Langkahku kecil, tapi penuh keyakinan.
"Tahun baru adalah pagi basah yang meninggalkan aroma tanah menguap. Ia tidak memulai segalanya dari awal, tetapi menghidupkan kembali apa yang tertinggal. Dalam jejak ini, ada harapan, ada kisah, dan ada keberanian untuk melangkah lebih jauh."
Aku melangkah perlahan, membiarkan angin membawa jejak langkahku. Tidak ada peta, tidak ada kompas. Hanya keyakinan bahwa apa yang tertulis di garis takdir akan mengalir sebagaimana mestinya. Aku hanyut, bukan menyerah, tetapi menyatu dengan arus yang membawa ke tujuan yang misterius.
"Hidup adalah tarian antara kehendak dan takdir. Tidak semua harus diketahui, tidak semua harus direncanakan. Sebab yang mengalir, meski tampak tak berarah, selalu menemukan lautnya."
Kaki ini melangkah tanpa terburu, mengikuti hembusan angin yang membawa petunjuk tak kasat mata. Dalam keheningan, dalam detik-detik yang hampir terlupakan, aku merasa seperti ranting yang terombang-ambing di sungai, tak tahu kemana ia akan dibawa, namun percaya bahwa sungai ini tahu jalannya. Aku mengalir, seiring dengan apa yang tertulis di dalam takdir yang misterius. Sebuah perjalanan tanpa akhir yang hanya bisa dimengerti saat waktunya tiba.
Pomalaa, 20250101
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment