jembatan paradoks

Tauhid bukan hanya pernyataan lisan tentang keesaan Allah, melainkan perjalanan menuju kesadaran penuh akan keteraturan semesta. Tauhid adalah jembatan, penghubung yang mengatasi batas-batas dualitas, di mana baik dan buruk, manis dan pahit, terang dan gelap, semua bertemu dalam harmoni yang sempurna. Ia adalah jalan yang menuntun jiwa pada penerimaan, tempat segala paradoks kehidupan terurai menjadi satu kesatuan yang utuh.

Dalam pandangan ini, kebaikan dan keburukan hanyalah peran. Baik malaikat maupun iblis sama-sama berbakti kepada Sang Pencipta. Malaikat memerankan kepatuhan, sedangkan iblis memerankan pembangkangan. Namun, keduanya tidak lebih dari kepingan teka-teki yang, ketika disatukan, melengkapi rencana ilahi. Mereka ada bukan untuk diadili, melainkan untuk dipahami. Seperti aktor di panggung, peran mereka hanyalah pantulan dari kehendak-Nya. Hakikat mereka adalah ciptaan yang tunduk, takluk pada titah yang tak terbantahkan.

Manusia sering kali terjebak dalam kebingungan antara baik dan buruk, seolah-olah keduanya adalah dua kutub yang bertentangan. Dalam kegelisahan itu, manusia lupa bahwa kedua kutub ini adalah dua sisi dari koin yang sama. Takdir baik dan takdir buruk bukanlah musuh yang harus dilawan, melainkan guru yang datang untuk mendidik jiwa. Pada akhirnya, segala sesuatu yang datang adalah baik, karena ia datang dari-Nya. Dalam setiap kegembiraan tersembunyi ujian, dan dalam setiap kesedihan tersembunyi berkah. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri sendiri; semuanya adalah bagian dari desain yang lebih besar, rancangan yang tak terjangkau oleh akal manusia.

“Janganlah engkau memandang hujan sebagai berkah atau bencana,” ujar seorang bijak, “tetapi pandanglah hujan sebagai titah-Nya. Jika ia datang membawa kesuburan, bersyukurlah. Jika ia datang membawa banjir, bersyukurlah pula, karena dalam kehancuran itu tersembunyi kebijaksanaan yang hanya bisa dilihat oleh hati yang tercerahkan.” Dalam kata-kata ini tersembunyi pelajaran mendalam tentang penerimaan. Hujan, meskipun terlihat sebagai fenomena alam biasa, mengajarkan manusia untuk melepaskan penghakiman dan melihat kehidupan dengan mata keimanan.

Kehidupan mengalir seperti sungai, dengan deras dan tenangnya, dengan kejernihan dan keruhnya. Demikian pula, setiap peristiwa yang hadir dalam hidup manusia adalah aliran yang membawa pesan. Sebuah bencana yang tampaknya menghancurkan, pada akhirnya bisa menjadi ladang pembelajaran yang mendalam. Sebaliknya, kebahagiaan yang membuai sering kali menguji keikhlasan hati manusia.

“Takdir baik tidaklah menambah apa pun pada kebesaranmu, dan takdir buruk tidaklah mengurangi nilai dirimu,” kata sang bijak. “Keduanya hanyalah cara untuk menguji bagaimana kau akan bereaksi: dengan rasa syukur atau keluhan, dengan kesabaran atau keputusasaan.” Dalam pandangan ini, manusia diajak untuk memahami bahwa baik dan buruk hanyalah ilusi peran yang diletakkan di atas panggung kehidupan.

Namun, penerimaan ini tidak datang dengan mudah. Manusia harus belajar menerima kehidupan seperti samudra menerima segala hal. Samudra tidak menolak air yang masuk ke dalamnya, baik air yang jernih maupun yang keruh. Ia tetap luas, tetap dalam, tetap penuh. Penerimaan seperti itulah yang membawa kedamaian sejati. Tidak ada lagi pemberontakan terhadap kehendak, tidak ada lagi pertanyaan "mengapa ini terjadi padaku?" yang lahir dari ego yang ingin mengendalikan segalanya.

“Ketika hujan deras mengguyur tanah,” kata sang bijak, “apakah kau akan mencelanya karena membawa lumpur, ataukah kau akan bersyukur karena ia memberi kehidupan bagi pohon-pohon? Ketika angin bertiup kencang, apakah kau akan marah karena ia merobohkan pondokmu, ataukah kau akan mengerti bahwa ia membersihkan udara dari debu?” Pertanyaan-pertanyaan ini membuka mata hati manusia terhadap hakikat bahwa segala sesuatu memiliki tempatnya. Tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang datang tanpa sebab.

Untuk sampai pada penerimaan ini, seseorang harus melepaskan ego. Ego adalah dinding yang memisahkan manusia dari kesadaran yang lebih dalam. Ego selalu menginginkan kendali, selalu menghakimi, selalu merasa berhak atas takdir baik dan menolak takdir buruk. Namun, jiwa yang telah melepas ego tidak lagi menuntut apa pun. Ia hanya menerima, menyerah, dan berserah.

Kehidupan adalah perjalanan panjang yang diwarnai oleh pengalaman manis dan pahit, terang dan gelap. Dalam perjalanan itu, manusia akan menghadapi ujian, baik berupa kesulitan yang menguras air mata maupun kebahagiaan yang melambungkan harapan. Kehilangan yang menghancurkan hati dan cinta yang menyembuhkan luka menjadi bagian dari pelajaran, mengajarkan jiwa bahwa tidak ada sesuatu pun yang berdiri sendiri. Segala sesuatu terhubung dalam kehendak yang satu.

Pada akhirnya, jiwa yang mampu melihat segala sesuatu sebagai bagian dari kehendak yang lebih besar akan menemukan kedamaian sejati. Ia tidak lagi melihat baik dan buruk sebagai lawan, melainkan sebagai elemen yang saling melengkapi. Jiwa itu menjadi seperti samudra, yang luas dan dalam, yang menerima apa pun yang datang. Kedamaian itu tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam. Ia adalah kesadaran bahwa segala sesuatu—baik maupun buruk—adalah pantulan dari kehendak-Nya. Dan dalam kesadaran itu, jiwa tidak lagi terombang-ambing oleh gelombang kehidupan, melainkan kokoh seperti gunung, tetap seperti langit yang memayungi semesta.

Pomalaa, 20250120
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts