mimpinya bicara

Di tengah malam yang sunyi, di mana bintang-bintang seperti menyembunyikan cahayanya, aku terjebak dalam bayang-bayang amarah. Sebuah gelombang yang datang begitu cepat, seolah semua kesabaran yang pernah kumiliki hanyalah debu yang terbawa angin. "Kenapa?" aku bertanya pada diriku sendiri. "Kenapa aku begitu mudah terperangkap dalam gelapnya rasa ini?"

Amarah—aku sering merasa ia datang dengan cara yang begitu licik. Seperti racun yang menyusup perlahan ke dalam tubuh, mengalir dalam pembuluh darah, hingga suatu saat meledak tak terkendali. Seperti api yang tak bisa dipadamkan, ia membakar apa saja yang ada di sekitarnya, bahkan jiwa yang rapuh sekalipun. Namun, dalam keheningan yang datang setelahnya, ada sebuah pertanyaan yang muncul: “Apa yang tersisa setelah semuanya terbakar?”

Dalam keremangan itu, aku mulai melihat sebuah bayangan—sebuah refleksi diri. "Kehilangan," bisikku pelan. Kehilangan itu datang bukan hanya sebagai hilangnya orang yang kita sayangi, tetapi juga sebagai hilangnya bagian dari diri kita yang mungkin sudah lama tidak kita kenali. Aku pernah mendengar seorang bijak berkata, "Kehilangan adalah jalan menuju pemahaman diri yang sejati." Tapi aku masih belum mengerti. Apakah dengan kehilangan, kita menemukan siapa kita yang sebenarnya?

Senyap. Hanya suara angin yang menggerakkan dedaunan. Keputusasaan itu datang lagi, begitu akrab, begitu dalam. "Apa yang bisa kulakukan dengan sisa-sisa diriku yang rapuh ini?" aku berbisik dalam hati. "Ke mana harus kuarahkan langkahku yang patah?"

Dalam kebisuan, aku mendengar suara yang perlahan mengisi kekosongan. “Kebangkitan tidak datang dari tempat yang kau cari, ia datang dari tempat yang kau lupakan.” Aku terdiam. Suara itu bukan dari luar, melainkan dari dalam diriku. Ia mengingatkanku bahwa kebangkitan bukan tentang melawan dunia, tetapi tentang berdamai dengan diri sendiri. Tentang merangkul setiap bagian yang hancur, bukan untuk menghindari luka, tetapi untuk menumbuhkan kekuatan dari sana.

"Dan untuk apa semua ini?" aku bertanya lagi. "Untuk siapa aku bangkit?"

Suara itu kembali menjawab, “Untuk mereka yang melihatmu sebagai musuh, untuk mereka yang terluka oleh tindakanmu. Kebangkitanmu adalah pemberian, bukan untukmu sendiri, tetapi untuk dunia yang penuh dengan rasa sakit ini.”

Aku terdiam. Seperti seorang penyair yang melukis dengan kata-kata, aku merasa aku sedang menggenggam rahasia yang tak terungkapkan. Jika kebangkitan adalah tentang memberi, maka apakah aku harus memaafkan mereka yang telah menyakitiku? “Memaafkan bukan berarti melupakan,” aku mengingat sebuah pepatah yang sudah lama terpendam. Memaafkan adalah melepaskan belenggu, memberi ruang untuk pertumbuhan yang baru. Dalam memaafkan, aku menemukan kebebasan. Dalam kebebasan, aku menemukan kedamaian.

"Jadi, apa yang sebenarnya kita cari?" tanyaku dalam hati. "Apakah itu kedamaian? Atau justru kebahagiaan?"

Mungkin, jawabannya ada pada keseimbangan antara keduanya. Ketika kita mulai memberi tanpa mengharapkan balasan, ketika kita mulai menyembuhkan tanpa menunggu penghargaan, kita akan menemukan kebahagiaan dalam ketenangan hati. Aku menyadari bahwa hidup ini bukan tentang mengalahkan dunia, tetapi tentang membangkitkan dunia dalam diri kita. Dan dalam kebangkitan itu, aku menemukan makna yang sejati. Karena sesungguhnya, kita bangkit bukan untuk kita sendiri, tetapi untuk membahagiakan mereka yang ada di sekitar kita, bahkan mereka yang dahulu menjadi musuh kita.

"Yang terpenting bukanlah siapa yang kau lawan, tetapi siapa yang kau jadikan sahabat dalam perjalanan hidupmu."

Aku akhirnya mengerti. Kebangkitan sejati adalah ketika kita mampu berdamai dengan diri sendiri, menerima segala kekurangan, dan tetap memberikan yang terbaik untuk dunia, tanpa syarat.

Kini, setelah melewati semua cobaan dan rasa sakit, aku berdiri di titik yang penuh harapan. Seperti seorang penyair yang menulis akhir puisi dengan kata-kata yang tulus, aku akhirnya mengerti: kebangkitan bukan tentang menunggu dunia berubah, tetapi tentang bagaimana aku bisa memberikan yang terbaik, bahkan ketika dunia terasa tidak adil.

Dan pada akhirnya, di ujung perjalanan ini, aku menyadari satu hal yang paling penting: "Selamat Tahun Baru untuk diriku sendiri," sebuah ucapan penuh makna yang bukan hanya untuk menandai waktu, tetapi untuk merayakan kebangkitan, harapan, dan tekad untuk terus berjalan, membahagiakan orang-orang di sekitar, dan mencari kedamaian yang sejati dalam hati.

begitulah bisik dari mimpinya bicara...!

Pomalaa, 20250101
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts