HOMARA:Rakai Adimarga

Di sebuah negeri yang terjebak di antara bayangan moralitas dan kelamnya pengkhianatan, lahirlah seorang pemimpin yang namanya diselipkan di antara doa-doa rakyatnya: Rakai Adimarga. Lelaki itu adalah teka-teki hidup, seorang pendosa yang berjalan di antara pilar-pilar kebajikan, membawa aura iblis namun berhati malaikat. Tatapannya menusuk seperti bilah belati, suaranya seperti guruh di langit musim kemarau, tetapi tindakannya… ah, tindakannya adalah paradoks yang mematahkan logika manusia.

Wajahku adalah dosa yang kau kutuk,
Namun tanganku adalah pelukan rahmat.
Di balik nista yang kau benci,
Ada kasih yang menetes tanpa pamrih.

“Hanya bayangan yang tampak gelap, karena ia melindungi cahaya.”

"Mengapa kau takut pada wajahku, jika aku memikul dosa demi perutmu yang lapar?"
Begitu katanya pada seorang bawahan yang gemetar di hadapannya.
"Tak ada surga tanpa neraka yang terbakar. Dan akulah api yang kau kutuki, agar kau dapat hidup di dalam sejuknya keteduhan."
Rakyat mencintainya tanpa benar-benar mengerti alasannya. Sebagian karena takut, sebagian lainnya karena melihat hasil dari kebijakan-kebijakannya yang mengguncang nalar. Ia memerintahkan pembakaran gudang milik tuan tanah tamak, tetapi hasilnya, sawah petani kecil kembali hijau. Ia membubarkan rapat penuh protokol pejabat tinggi dengan satu ketukan meja, hanya untuk duduk bersama tukang becak dan mendengarkan keluhan mereka.

Aku bukan hiburan di bawah tenda gemerlap,
Aku hidup liar, menari di gelapnya kabut.
Tidak ada rantai di leherku,
Hanya luka di cakarku, demi kawanan.
Serigala...

“Kebebasan bukanlah panggung, melainkan sunyi yang tak butuh tepuk tangan.”

"Pemimpin itu seperti serigala," katanya suatu malam kepada kerumunan rakyat yang gelisah, "Ia harus belajar mencakar sebelum melindungi."

Dialognya selalu dingin, seperti bisikan angin di lembah kematian. Di lain waktu, ia melontarkan kata-kata yang membakar:
“Prosedur adalah rantai emas bagi mereka yang takut berpikir. Dan aku bukan budak emas. Aku adalah debu yang mengotori tangan kalian, agar kalian tahu arti bersih.”

Ia sering membuat keputusan yang dianggap 'tidak prosedural.' Tetapi, siapa yang bisa menyangkal hasil akhirnya? Orang-orang kecil kembali memiliki rumah, anak-anak petani mendapatkan buku, dan para janda perang diberi ladang untuk diolah.

Ia berjalan tanpa langkah,
Membelah waktu tanpa pedang.
Lidahnya adalah suluh,
Yang menyala di gelap akal manusia.

“Terkadang, diam lebih bising daripada khutbah.”

Seperti malamatiyah yang menolak pujian, Rakai Adimarga membiarkan dirinya dicaci oleh pejabat yang ia permalukan, tetapi rakyat mencintainya seperti mencintai senja yang menenangkan jiwa. Aura iblisnya menjadi perisai yang melindungi hati malaikat di dalam dadanya.

Suatu malam, seorang pejabat bertanya kepadanya dengan nada sinis:
“Apakah kau menikmati menjadi monster di mata kami semua?”
Ia hanya tersenyum, dan menjawab dengan satu kalimat tajam:
“Lebih baik menjadi monster yang menanam cinta daripada malaikat yang memetik kebencian.”

Aku tidak lahir dari tanah subur,
Melainkan dari badai yang menampar lautan.
Namaku bukan warisan para pahlawan,
Melainkan bisik doa yang terabaikan.

“Legenda tidak pernah dimahkotai, hanya dikenang dalam bayangan sunyi.”
Pada akhirnya, Rakai Adimarga tidak mati di medan perang, tidak pula gugur oleh kudeta. Ia pergi begitu saja, seperti kabut yang hilang di pagi hari. Namanya menjadi legenda, tetapi bukan tanpa kritik.

Banyak yang berkata, "Dia adalah iblis yang diberkati Tuhan." Yang lain berbisik, "Dia hanya seorang pria gila yang beruntung." Tetapi bagi rakyat kecil, ia adalah jawaban atas doa-doa mereka yang terlupakan.

Ia meninggalkan sebuah puisi di ruang kerjanya sebelum pergi:

"Jika aku iblis, maka biarlah aku iblis yang mencintai dunia ini.
Jika aku malaikat, maka biarlah aku malaikat yang tidak pernah terlihat.
Aku adalah perahu yang tenggelam,
agar kalian mencapai dermaga."

Adakah aku lenyap,
atau sekadar berpindah bayang?
Apakah ini akhir,
atau kelahiran tanpa tangisan?
Jejakku tenggelam di pasir,
tapi angin menyanyikan namaku.
Aku mati pada dunia yang mengenal,
dan lahir di keabadian yang asing.

“Yang pergi tidak pernah hilang; ia hanya menjadi sesuatu yang tak lagi kau pahami. Dan Setiap akhir adalah awal yang tidak kau kenali.”

Di sanalah misterinya selesai—atau mungkin baru dimulai.

Pomalaa, 20250113
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts