Samsara Jiwa

Dia sering duduk sendiri di sudut gelap ruang hidupnya, berhadapan dengan secangkir kopi tubruk yang pahitnya mengingatkan pada kenyataan. Kepalanya diselimuti kabut asap rokok, seperti malam yang ia peluk erat. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya bunyi nafasnya yang berat dan diam yang lebih dalam dari gelap di sekitarnya.

Pahit menghantam, hitam mengikat.
Halimun serinthil terhembus.
beban lenyap tanpa bicara,
mati di udara...
Sepi adalah kekasih yang ia selingkuhi setiap malam. Bukan untuk lari, bukan untuk ingkar, tapi untuk memahami bagaimana caranya berjalan tanpa mendua. Dalam setiap tegukan kopi, ia memikirkan bahwa jalan hidup lelaki seringkali adalah perjalanan yang sendirian. Lelaki kelak harus mampu berdiri tegap, meski rasa sakit menoreh hatinya seperti pisau tumpul. Ia memakai wajah garang di hadapan dunia, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menutupi luka-luka yang terlalu sering ia abaikan.

Ia bersetubuh dengan gelap,
membunuh dirinya perlahan.
Sunyi jadi saksi,
tanpa pernah menagih.

Namun, di tengah kesendirian yang ia akrabi, ada dua cinta yang membuat langkahnya tetap teguh. Cinta kepada perempuan yang ia pilih sebagai teman hidup. Perempuan itu tak banyak bicara, namun kehadirannya seperti lentera kecil di lorong panjang yang gelap. Ia adalah satu-satunya arah dalam hidupnya yang tak pernah berubah. Dan di atas segalanya, ada cinta kepada seorang ibu yang teduhnya seperti rindang pohon tua. Ibu yang memeluknya dengan doa yang tak pernah ia dengar, namun selalu terasa seperti pelindung yang tak terlihat.

Ibu, perempuan
pelukan tanpa suara cinta pertama
Kamu, perempuan
Arah tanpa keraguan cinta selanjutnya
Dua cinta,
satu jalan tanpa kembali...
abadi.

Ritual malamnya selalu sama. Setelah dunia terlelap, ia akan berbincang dengan halimun serinthil tembakau, membiarkan asap rokok berbisik di udara, mengingatkannya pada cerita-cerita lama yang pernah ia simpan. Gelap bukan lagi musuh baginya, melainkan kawan yang setia mendengar tanpa menghakimi. Malam adalah satu-satunya waktu di mana ia tak perlu mengenakan topeng garangnya.

Di ujung semua,
lelaki tinggal nama.
Sendiri,
sebagaimana ia dilahirkan.

Dia tidak pernah benar-benar takut pada sunyi. Justru, ia menjadikan sunyi sebagai cermin untuk melihat dirinya sendiri. Dalam diam, ia menemukan luka yang telah lama ia lupakan, cinta yang tetap hangat meski dunia membeku, dan dirinya yang selama ini ia cari di tengah kesibukan dunia.

Waktu membungkam,
sunyi menghabisi,
Dalam dirinya sendiri,
ia berakhir,
bunuh diri dalam takdir,
Dalam diam.

Saat matahari mulai terbit dan dunia kembali bersuara, ia menutup ritual malamnya dengan satu embusan napas panjang. Sebuah janji kecil untuk terus berjalan, entah sepi masih akan menyertainya atau tidak. Sebab lelaki, baginya, tidak pernah berhenti mencari arti hidup, meski terkadang hidup hanya menjawabnya dengan sunyi.

In silence, a man finds the truth he never dared to speak.

Pomalaa, 20250116
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts