Achim BeMilchama

Mereka berdiri dalam keheningan yang menggema, seolah semesta berhenti hanya untuk menyaksikan. Dua lelaki, berdiri dalam jarak yang tak jauh, tapi terpisah oleh sesuatu yang tak terlihat. Tak ada kata yang terucap, karena bagi mereka, kata-kata hanyalah kelemahan yang tak perlu diungkap. Yang satu berdiri seperti batu cadas yang tak bergeming, sementara yang lain bergerak dengan langkah kecil namun pasti, seolah mencari celah dalam waktu.

Dua bayang, satu langkah,
Di jalan yang sunyi dan retak.
Tak ada suara, hanya tatap,
Namun di hati, badai meratap.

Yang pertama menahan nafasnya, bukan karena takut, tapi karena menghormati momen ini—sebuah medan perang tanpa darah. Ia tahu, kekuatannya bukan terletak pada serangan, melainkan pada keteguhan untuk tidak menyerah. Yang kedua, dengan mata tajam seperti tepi pedang, mengukur setiap detik yang berlalu, mencari arti dari keberadaannya di sini. Mereka adalah cerminan satu sama lain, tetapi masing-masing memikul pertempuran yang berbeda.
Keheningan adalah bahasa jiwa yang telah selesai berdebat dengan dirinya sendiri. Dan di dalamnya, tak ada yang bisa disembunyikan.

Lelaki di depan adalah aku,
Namun aku tak mengenalnya seutuhnya.
Setiap langkah yang ia ambil,
Adalah bayangan yang ingin ku taklukkan.

Mata mereka tetap memandang lurus ke depan, seolah medan perang ini adalah takdir yang harus dihadapi tanpa keraguan. Mereka tahu bahwa langkah yang salah bisa menghancurkan segalanya, tapi mereka juga tahu bahwa menunggu adalah senjata yang hanya dimiliki oleh mereka yang benar-benar mengerti. Dalam hati masing-masing, ada pertanyaan yang sama: “Apakah ini saatnya bertahan, atau saatnya melangkah pergi?”

Kekuatan sejati bukanlah tentang siapa yang paling keras menyerang, melainkan siapa yang mampu menahan diri di saat yang paling sulit.

Di medan sunyi, mereka berdiri,
Di antara badai yang tak pernah pergi.
Langit menyaksikan tanpa memberi jawaban,
Dan mereka terus berjuang, 
dalam keraguan dan keteguhan.
Ketika keheningan itu mencapai puncaknya, salah satu dari mereka akhirnya berbicara—bukan dengan suara, tetapi dengan tatapannya yang menusuk, penuh dengan luka yang disembunyikan di balik keberanian. "Aku tidak berdiri di sini untuk melawanmu," matanya seolah berkata, "Aku berdiri di sini untuk menyelesaikan pertarungan dengan diriku sendiri." Yang lainnya, seperti gunung yang enggan runtuh, hanya mengangguk kecil, menyetujui tanpa perlu bertanya.

Musuh terbesar adalah bayangan yang engkau ciptakan sendiri. Dan perang terbesar adalah melawan keraguan yang berbisik di hatimu setiap malam.

Apa arti pedang tanpa tajam,
Apa guna perisai bila tanpa diam?
Dalam diri, ada perang abadi,
Di situlah lelaki sejati diuji.

Saat segalanya terasa memudar, mereka tidak bergerak mendekat atau menjauh. Mereka tetap di sana, masing-masing seperti patung yang berdiri di ujung tebing. Diam bukan tanda ketakutan, melainkan cara mereka menunjukkan hormat kepada lawan yang sebenarnya—diri mereka sendiri. Mereka tahu, pertemuan ini bukan untuk saling menghancurkan, melainkan untuk menguji siapa yang mampu bertahan hingga akhir.

Hari berlalu tanpa terasa, namun kedua lelaki itu tetap berada di tempatnya, tidak bergerak, tidak menyerah. Mereka bertahan bukan karena tak punya pilihan, tetapi karena mereka tahu bahwa perang ini belum selesai. Mereka tidak mencari kemenangan atas lawan, tetapi mencari akhir yang pantas untuk semua luka dan perjalanan yang telah mereka mulai.

Bertahanlah, bukan karena takut pergi, tapi karena kau percaya ada sesuatu di ujung yang layak diperjuangkan. Pergilah, bukan karena kau menyerah, tapi karena kau tahu jalan baru menantimu di luar batas yang tak terlihat.

Dua lelaki di medan yang sama,
Namun tak pernah menatap dengan cela.
Mereka tahu perang ini adalah takdir,
Tapi takdir bisa berubah bila kau memilih.

Ketika akhirnya keduanya menyadari bahwa waktu takkan menjawab pertanyaan yang mereka simpan, mereka hanya menatap kosong ke cakrawala. Tanpa kata, mereka melangkah ke arah masing-masing. Tidak ada kemenangan, tidak ada kekalahan, hanya perjalanan yang terus berlanjut. Mungkin mereka menunggu akhir dari semua perjuangan ini, atau mungkin mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk meninggalkan medan ini dan mencari Kurukshetra yang baru—medan perang lain di mana mereka bisa memulai sesuatu yang berbeda, membawa pelajaran dari diam dan pertarungan di tempat ini.

Bertahanlah sampai kau tahu akhir yang layak. Dan jika akhir itu tak pernah datang, pergilah—bukan karena kalah, tetapi karena dunia ini terlalu luas untuk hanya berperang di satu tempat.
Achim BeMilchama (bahasa Ibrani)
Dua saudara dalam perang yang sama, bukan karena darah, tetapi karena takdir yang mempertemukan mereka di medan yang tak terhindarkan. Mereka berdiri, bukan sebagai lawan, tetapi sebagai cerminan; satu bayang yang mempertanyakan keberanian, yang lain menggenggam keyakinan. Dalam diam yang menggelegar, mereka tahu bahwa perang ini bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang menemukan makna dari setiap luka yang mereka bawa. Jika akhir itu datang, mereka akan menyambutnya dengan kepala tegak. Jika tidak, mereka akan melangkah pergi, mencari medan baru di mana pertarungan jiwa tetap abadi.

Pomalaa, 20250116
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts