duabelas ilusi, tigabelas aku
Ada yang berkata, derita itu pedih. Ia datang tanpa diundang, membawa luka yang seolah tak kunjung sembuh, atau mengingatkan rasanya kambuh. Namun, bagi mereka yang telah terbiasa, derita bukan lagi pedang yang melukai, melainkan bara yang menempa. Luka-luka itu menyatu dengan tubuh, menjadi dinding kokoh yang tak lagi runtuh meski badai menghantam. Bagi jiwa yang mengenal hakikat, rasa sakit dari luar hanyalah angin yang berhembus sementara. Ilusi.
Derita, engkau sahabat sunyi,
Menempa jiwa hingga tak lagi letih.
Lawan di luar hanyalah ilusi,
Namun diri, musuh abadi,
Yang tak pernah pergi.
Di luar sana, ada mereka yang licik, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Mereka menyerang dari bayangan, menusuk tanpa suara. Tapi apakah itu benar-benar menakutkan? Tidak. Karena musuh sejati bukan mereka yang berdiri di hadapan kita, melainkan yang bersembunyi di dalam diri sendiri. Nafsu, amarah, kesombongan—mereka adalah duri yang menusuk jiwa. Melawan mereka jauh lebih berat daripada menghadapi sejuta lawan di medan perang. Dan inilah seni tertinggi dalam perang, perang kehormatan teebesar bagi setiap yang berlubang sembilan, manusia!!. Manusia yang mengerti bahwa kemenangan terbesar adalah menaklukkan diri sendiri. Diri!!.
Licik mereka menjelma badai,
Berwajah kabut, berlidah api.
Lawan di luar sekadar bayang,
Tetapi diri, adalah jurang tanpa tepi.
Jiwa yang sadar tahu, kemenangan tidak datang dari menghancurkan musuh di luar. Sebaliknya, ia lahir dari menaklukkan kekacauan batin. Jalan ini sunyi, terkadang menyeramkan, karena kita harus menghadapi diri kita sendiri dalam bentuk yang paling jujur. Apa yang kita temukan di sana sering kali menyakitkan: ketakutan, kelemahan, bahkan bayang-bayang dosa yang enggan pergi. Namun, keberanian sejati adalah bertahan dalam kegelapan itu hingga kita menemukan cahaya. Meski setitik saja.
Derita pun berubah jelaga,
Membakar jiwa, menggurat luka.
Musuh di dalam, iblis yang bersuara,
Menertawakan nyali, menyiksa tanpa jeda.
Dan akhirnya, ketika perang itu selesai, jiwa akan menjadi kokoh seperti gunung, tak tergoyahkan. Derita tidak lagi menjadi musuh, melainkan teman yang setia menemani perjalanan. Sebab, hanya mereka yang berhasil menaklukkan dirinya sendiri yang mampu berjalan dengan kepala tegak. Di hadapan manusia, mereka sederhana. Di hadapan Tuhan, mereka pasrah. Dan di hadapan derita, mereka tak lagi peduli.
HATI-HATI DALAM PELUK MESRA!!
Kolaka, 20250118
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment