Samadi
Di ujung senja yang murung, di sebuah negeri tanpa suara, hidup sebuah kota sunyi. Penghuninya adalah jiwa-jiwa yang bersembunyi di balik topeng sinisme, berdiam dalam keranda waktu yang kian memudar. Kesepian menjadi teman setia, dan kesunyian adalah hukum yang tak tertulis. Kota ini memeluk mereka yang takut mencintai, yang menghindar dari wajah-wajah hakiki kehidupan.
"Keheningan adalah suara jiwa yang menembus batas kata, berbicara dalam bahasa yang hanya dipahami oleh yang mau mendengar dalam diam."
Pada suatu hari, di tengah ruang tanpa gema, terdengar desiran yang tak berasal dari mulut—bisikan bisu yang menusuk hati. Ia berkata kepada si tuli tentang penglihatan si buta, dan betapa sang lumpuh kini melangkah. Mereka yang mendengar—atau merasa mendengar—tak memahami makna, tetapi terdiam. Kebisuan menjadi cermin, membalikkan segala prasangka ke dalam diri.
Sinisme oh sinisme,
Yang kau cium adalah kehampaan,
Keranda ini adalah rahim kesepian,
Menguburmu dalam pelukan bayangan.
Di balik kisah itu, seorang lelaki tua berdiri, namanya tak pernah disebutkan. Ia mengamati keramaian jiwa yang terperangkap dalam kesempurnaan palsu. "Mereka mencintai tanpa keberanian," gumamnya. "Maka cinta mereka hanyalah bayang-bayang yang diciptakan oleh cahaya ego." Ia memegang kitab tua, penuh dengan halaman kosong. "Isi kitab ini adalah keberanian untuk menerima," lanjutnya. "Tapi, siapa yang mampu membaca kehampaan?"
Langkah yang lumpuh,
Meninggalkan jejak pada tanah bisu.
Siapa yang membaca pasir?
Hanya mereka yang tak takut kehilangan arah.
Langkah lelaki tua itu pelan, tetapi setiap pijakannya seperti meninggalkan jejak tak kasat mata di udara. Ia berhenti di depan seorang perempuan yang berdiri di sudut, wajahnya tertutup kain kelabu, matanya tak mengarah ke mana pun. "Apa yang kau cari?" tanya lelaki tua itu. Perempuan itu terdiam, lalu menjawab tanpa suara. Ia menunjuk ke arah timur, ke tempat matahari tenggelam—arah yang tak pernah dijanjikan cahaya.
Kesunyian berbicara,
Pada mereka yang mencintai kehampaan.
Namun cinta yang hakiki,
Melahirkan keberanian untuk melihat kegelapan.
"Tulisan adalah telinga dari jiwa yang mendengar bisikan waktu, meski dunia tak pernah mengucapkan kata."
Lelaki tua itu hanya tersenyum kecil. Ia membalikkan tubuhnya, melangkah ke arah yang berlawanan, ke barat, ke tempat bayangan memanjang tanpa batas. Di belakangnya, perempuan itu tetap berdiri, tetapi kini wajahnya mengarah ke langit. Tidak ada yang tahu apa yang ia lihat. Mungkin kekosongan, mungkin sesuatu yang tak terucapkan.
Suara tak pernah lahir,
Namun ia memenuhi ruang hampa.
Kata-kata bersembunyi di lipatan waktu,
Dan bisu, diam-diam, mengucap segalanya.
"Langkah sejati tak memerlukan kaki, ia berjalan dalam kesadaran yang tak terikat oleh ruang atau waktu."
Mereka yang mencintai dengan sinisme akan kukuh digotong oleh keranda kesepian, dan yang menggelapkan wajah yang hakiki menua dalam kesunyian, lalu berteriak di tengah ruang tanpa telinga, membayangkan semua nilai dalam kebisuan, juga berjalan dalam arah dengan kelumpuhan. Namun, siapa yang akan mendengar teriakan tanpa suara?
Tinta berlari di atas kertas,
Meninggalkan jejak yang sunyi.
Namun tiap garisnya mendengar,
Suara jiwa yang tak terucap.
Lelaki tua itu terus berjalan, hingga ia menemukan seorang anak kecil duduk di atas sebuah batu besar. Anak itu menggambar sesuatu di tanah dengan ranting, bentuk-bentuk yang terlihat seperti peta yang tak pernah selesai. "Apa yang kau gambar, Nak?" tanya lelaki tua itu. Anak itu tak menjawab, hanya menatap lelaki tua itu dengan mata yang terlalu dewasa untuk tubuhnya yang kecil. Lelaki tua itu melihat ke arah gambar itu dan tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang menyerupai kota sunyi yang ia tinggalkan, tetapi dalam bentuk yang berbeda—seolah kota itu sedang berbicara.
Apa guna mata yang terbuka,
Jika pandangan hanya milik ego?
Si buta tertawa pada cahaya,
Karena kebenaran lahir dari gelap.
Kegelapan bukanlah musuh,
Melainkan cermin yang menunggu keberanianmu untuk menatap.
Ia menatap tanpa cahaya,
Membaca warna dalam kehampaan.
Si buta melihat lebih jauh,
Karena ia tak pernah tertipu terang.
"Ketika pandangan menghilang, jiwa berjalan dalam ruang yang tak terjamah, dan di sana, ia menemukan apa yang tak pernah ada."
Dalam keheningan itu, lelaki tua itu duduk di samping anak itu, memperhatikan setiap garis yang ia gambar. Tidak ada kata-kata, hanya kebisuan yang berbicara dengan bahasa yang lebih dalam dari suara. Dan di suatu tempat jauh di kota, perempuan dengan kain kelabu di wajahnya menurunkan kain itu perlahan, matanya kini terbuka penuh, dan bibirnya bergerak seperti ingin berkata sesuatu, tetapi ia memilih diam.
Lumpuh berjalan tanpa langkah,
Kaki diam, tapi dunia bergerak.
Siapa yang berhenti,
Siapa yang sebenarnya melangkah?
Kota itu tetap sunyi, tetapi di sudut-sudut kecil yang tersembunyi, ada sesuatu yang berubah. Seorang anak kecil yang lumpuh tiba-tiba berdiri. Ia melangkah, meski tertatih. Para penghuni kota melihatnya, sebagian mencemooh, sebagian berbisik. Tetapi lelaki tua itu hanya tersenyum. "Kesadaran adalah keajaiban," katanya. "Dan keajaiban hanya terjadi ketika engkau siap menerima bahwa dirimu sendiri adalah misteri."
Bayangan berdiri di tengah cahaya,
Namun ia tak pernah terlihat.
Rahasia adalah penjaga waktu,
Mengubah makna tanpa mengungkap dirinya.
Ia bangkit, menatap ke arah barat. "Mereka yang melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga, adalah mereka yang berjalan menuju hakikat." Langit mulai gelap, dan lelaki tua itu memudar bersama bayangan, meninggalkan jejak yang hanya dikenali oleh mereka yang siap menerima bahwa kebisuan adalah bahasa yang paling jujur.
"Setiap peran yang tersembunyi dalam rahasia adalah cermin dari jiwa yang mencari, yang tak pernah ditemukan, hanya dirasakan."
Pomalaa, 20250112
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment