Senandika di Batas Saujana
Langit berpendar lembayung, seakan mengisyaratkan bahwa hari telah mencapai titiknya yang paling syahdu. Aku berdiri di tepi saujana, memandang ke jauh yang tak bertepi, membiarkan angin membawa pikiranku melayang. Waktu telah mencapai sandyakala, ketika cahaya dan kegelapan bersentuhan dalam bisikan mesra.
Sejumput senja dalam genggaman
Terlepas tanpa bisa ditahan
Begitulah waktu berjalan
Tak bertanya, tak berpamitan
Di sinilah aku, tersesat dalam senandika yang tak kunjung berakhir. Kata-kata memenuhi kepalaku, mengalir deras bagai sungai yang mencari muara.
Sejauh mata memandang, laut dan langit berpelukan
Kekal, tanpa tanda, tanpa batas
Di mana ujung, di mana awal?
Segalanya melebur dalam ketakterhinggaan
Mereka berkata bahwa dunia adalah asmaraloka, tempat segala cinta lahir dan mati dalam irama yang sama. Namun, aku tahu bahwa cinta yang sejati adalah yang tak tergenggam, yang abadi seperti amerta—air kehidupan yang mengalir tanpa kering.
Arunika menyentuh cakrawala, membawa janji hari yang baru, tapi adakah yang sungguh baru di dunia yang berputar dalam siklus yang sama? Aku mencari makna dalam setiap embusan angin, dalam setiap warna langit yang berubah. Apakah kita semua hanyalah bayangan yang mengikuti cahaya?
Kita lahir bersama fajar
Hidup dalam lingkaran yang sama
Berjalan tanpa arah pasti
Mengejar bayangan sendiri
Dalam wiyata kehidupan, kita belajar bukan hanya dari kata-kata, tapi dari diam yang diam-diam betpuasa, sebelum hanyut tanpa dendam. Duam yang punah tanpa serapah. Dari klandestin yang tersembunyi dalam terang, dari kegelapan yang menyimpan cahaya kecil di ujung lorong.
Aku ingin menjadi nirmala, jernih seperti embun yang jatuh tanpa beban. Namun, dunia terlalu gaduh untuk kejernihan, terlalu penuh warna untuk kesunyian.
Aku ingin menjadi angin
Tak terlihat, tak tertahan
Menari di antara daun gugur
Hanya meninggalkan kenangan
Maka biarlah aku tetap di sini, bersama senja dan segala pertanyaannya, menjadi sebutir debu yang melayang, menyatu dengan semesta, menjadi satu dengan yang tak terkatakan.
Dan ketika swastamita menutup hari, aku hanya bisa tersenyum. Bukan karena aku telah menemukan jawaban, tapi karena aku telah belajar menerima ketidaktahuan.
Pomalaa, 20250129
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment