sakala jiwangkara

Ada waktu di mana suara lebih gaduh dari semesta, dan pikiran lebih rumit dari surah. Saat itulah kau duduk di sudut warung tua, di mana kopi mendidih tanpa letih dan asap rokok melukis siluet takdir. Kau menatap wajahnya, asing, dingin, dan penuh bias. Tapi, apa benar ia musuhmu, atau cermin bagi jiwamu yang retak?

 "Curiga adalah anak dari rasa takut,
yang lahir dari hati yang tak pernah bertemu."

Ia menatap balik. Matanya kosong, tapi penuh. Seperti malam yang tak butuh bintang untuk menjadi indah. Kau menyimpan seribu pertanyaan, seakan jawaban tak pernah cukup untuk menenangkan badai di dadamu. Tapi, ia hanya duduk. Tenang. Sederhana.

Kau mencoba mengungkapkan prasangka, tetapi kata-kata tertelan oleh pahitnya kopi yang menempel di lidahmu. Maka, ia berbicara. Pelan, namun cukup untuk membuat detak jantungmu mundur sejenak.

 “Apa kau takut pada bayanganku, atau bayanganmu sendiri?
Yang memutus jarak ini bukan aku, tapi kebencian yang kau rawat.”

Paradoks menyeruak di udara. Kau ingin menjawab, tetapi bagaimana melawan kalimat yang berakar dari keheningan? Ia mengundangmu untuk duduk lebih dekat. Tidak ada senjata di tangannya, hanya cangkir kopi yang setengah kosong dan sebatang rokok yang hampir habis.

 “Rokok ini, seperti hidup: terbakar, rapuh, tapi menghangatkan.
Kau terlalu sibuk melihat apinya, hingga lupa bahwa asapnya pun bisa menceritakan arah angin.”

Kau ragu. Tapi kaki itu, akhirnya, melangkah. Sebuah langkah kecil menuju meja tempat segala praduga ingin runtuh. Dan di sana, kau mulai melihat. Bukan hanya ia, tapi dirimu sendiri. Wajahmu yang memantul di cangkir hitamnya.

Ia menghela napas panjang, seakan setiap helaannya mengandung rahasia semesta yang terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.

 “Manusia selalu takut pada apa yang tak mereka pahami.
Tapi bukankah takut itu tanda bahwa kau butuh memahami?”

Kopi bertemu dengan bibirmu. Pahitnya seperti hidup yang tak ingin kau akui. Tapi ada manis di ujungnya, samar, seperti janji yang terucap sebelum waktu mencurinya. Kau tertawa kecil, meski hatimu berat. Ia hanya menatap, dan senyum itu, entah mengapa, seperti embun pagi di atas daun yang hampir layu.

Kalian bicara. Tentang hal-hal kecil yang sering kau abaikan. Tentang angin, tentang hujan, tentang daun yang gugur tanpa protes. Tidak ada yang penting, tapi juga tidak ada yang tidak penting.

 “Segala yang ada adalah tanda,
jika kau tahu cara membaca huruf-huruf yang tak terlihat.”

Dan saat malam hampir habis, kau menyadari satu hal: bahwa ia tidak pernah menjadi ancaman. Ia adalah teka-teki, ya, tetapi teka-teki yang hanya bisa diselesaikan dengan duduk bersama. Ngopi bersama. Dan, anehnya, udud bersama.

 "Semesta tak pernah memberkati fitnah,
karena ia tahu bahwa hanya kebenaran yang punya rumah."

Kau pulang dengan hati yang lebih ringan. Prasangka yang dulu seperti gunung kini hanya debu yang diterbangkan angin. Dan dalam keheningan perjalanan pulang, kau mendengar suara hatimu berkata:

“Terkadang, kau perlu duduk bersama bayanganmu sendiri
agar kau tahu bahwa yang kau takutkan hanyalah dirimu yang lupa cara mencintai.”

Semesta tersenyum. Dan kau, untuk pertama kalinya, ikut tersenyum bersama.
Penutup yang Menyentuh dan Menggema
---------------------------------------------------‐--------------
Dan ketika kopi terakhir di warung tua itu habis, suara-suara kecil mulai mengisi ruang yang dulu dihuni oleh kebencian. Orang-orang yang datang dengan kecurigaan perlahan bicara, seakan mereka tak mampu lagi menahan beratnya beban prasangka yang mereka pikul sendiri. Salah satu dari mereka, dengan wajah penuh kelelahan, akhirnya berujar:

“Aku dulu membencimu tanpa sebab. Mungkin karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang mengingatkanku pada ketidaksempurnaanku sendiri.”

Yang lain mengangguk, suaranya hampir bergetar.

“Aku curiga bukan karena kau salah, tapi karena aku takut. Takut menghadapi bayangan burukku sendiri. Fitnah yang kulontarkan hanyalah pelarian, sebuah upaya menyembunyikan lukaku dari dunia.”

Wajah-wajah itu, yang tadinya penuh amarah, kini seperti cermin yang retak—memantulkan potongan-potongan kebenaran yang tak lagi bisa disangkal. Dan ia, yang menjadi pusat segala praduga, hanya tersenyum. Senyumnya bukan kemenangan, melainkan kasih yang terlalu dalam untuk dijelaskan.

“Hati adalah tanah. Apa yang kau tanam, itulah yang tumbuh.
Jika kau menanam kebencian, akarnya akan mencekikmu sendiri.”

Mereka terdiam, menunduk. Ada keheningan panjang yang melahirkan kejujuran. Mereka mulai menyadari bahwa kebencian yang mereka pelihara tak pernah tentang orang lain, melainkan tentang kekosongan di hati mereka sendiri.

“Kami salah,” ujar salah satu dari mereka dengan mata basah.
“Dan kesalahan itu telah menjadi beban yang melelahkan. Maukah kau memaafkan kami?”

Ia tersenyum, lalu menjawab dengan nada yang tenang namun menghunjam:

 “Aku telah memaafkan kalian bahkan sebelum kalian menyadari kesalahan kalian. Bukan karena aku suci, tapi karena aku tahu bahwa kebencian hanya menumbuhkan duri, sementara maaf menumbuhkan bunga.”

Langit mulai berubah warna. Matahari menyingsing perlahan, menyingkirkan bayang-bayang malam yang terlalu lama bertahan. Dan di bawah cahaya pagi itu, semuanya terasa lebih jernih.

 "Ketika kau memelihara kebencian tanpa sebab,
kecurigaan tanpa dasar,
dan fitnah tanpa fakta,
kau sebenarnya sedang menelanjangi hatimu sendiri.
Karena segala yang kau lontarkan adalah cerminan dari dirimu,
bukan dirinya."

Mereka pergi dengan hati yang lebih ringan, seperti pohon yang telah menanggalkan daun-daun busuknya. Dan ia, yang tadinya menjadi sasaran segala prasangka, tetap duduk di sana. Kopinya telah habis, rokoknya tinggal abu, tapi senyumnya masih tersisa.

 “Aku tak butuh pembenaran,
karena aku tahu bahwa kebenaran selalu berdiri sendiri.
Ia tak butuh dukungan, hanya waktu untuk terlihat jelas.”

Dan pagi itu, semesta tersenyum lagi. Karena untuk pertama kalinya, kebencian menyerah kepada cinta, kecurigaan luluh kepada pengertian, dan fitnah hancur oleh kejujuran.

Kau berjalan pulang dengan hati penuh pelajaran, karena kau tahu:
“Kebencian adalah rantai,
dan hanya cinta yang bisa memutusnya.
Semua yang kau curigai,
adalah pantulan dari apa yang perlu kau perbaiki dalam dirimu sendiri.”

Kini kau mengerti, bahwa tidak ada bayangan yang harus ditakuti. Karena semua bayangan, pada akhirnya, hanya akan hilang di bawah terang.


Pomalaa, 20250114
duiCOsta_hatihati 


Comments

Popular Posts