murka sunya

Daun luruh tanpa nyawa,
angin tertawa membawanya.
Sunyi mengubur jejak lemah,
dunia menjadi kuburan basah.

Di sudut sunyi itu, laki-laki tersebut duduk dalam kebisuan. Tatapannya jauh menembus bayangan dinding, seolah mencari makna di balik setiap gerak dunia. Bukan menyerah, hanya berhenti bertanya. Pernah ia menabur peduli, tapi angin hanya menghamburkannya tanpa bekas. Kini, ia memilih menjadi penonton dalam permainan yang tak ia pahami.
Ada arus yang membawa daun,
tapi ada pula daun yang menunggu angin.

Sekelilingnya riuh oleh langkah yang saling mendahului, menciptakan celah demi celah yang tak terlihat. Gerak mereka bagaikan bayangan dalam air, indah tapi menipu. Bahkan, seseorang yang dulu berjalan sejajar kini berlomba menggapai perhatian sang mercusuar, merendahkan diri demi cahaya singkat. Dunia ini, pikirnya, bukan lagi panggung kebenaran, melainkan kanvas penuh warna palsu.

Kadang bisu lebih bijak,
untuk dunia yang berbicara terlalu serak.

Namun ia tidaklah tunduk. Ia hanya membungkam gemuruh di dadanya, menyimpannya untuk waktu yang tepat. Dalam sunyi itu, ia mengasah kesabaran seperti pedang yang terhunus diam-diam. Ia tahu, badai akan datang, dan ketika topeng-topeng itu runtuh, ia akan berdiri tanpa rasa gentar. Tidak untuk menang atas manusia, tetapi untuk memulihkan kepercayaan alam yang abadi.

Diam menusuk di ketiadaan,
menguliti tanpa darah.
Nafas hilang dalam gelap,
Waktu berbisik, mesra, lirih
"Aku pembunuhnya...".

Biarkan bayangmu menjadi nyata ketika matahari tak lagi memilih sisi.

Kolaka, 20250115
duiCOsta_hatihati 




Comments

Popular Posts