dewa-dewa kecil itu selalu lapar
Keras genderang suara musik, sendok dan garpu saling bersahutan, menciptakan simfoni pesta yang tak kenal henti. Perut-perut membesar, menampung segala yang disodorkan meja, tapi jiwa tetap melompong, kosong seperti mangkuk yang terbalik. Kenyang menghadirkan kantuk, dan langkah-langkah berat itu akhirnya terarah ke ranjang. Di sana, penguasa lainnya menanti: serangga di bawah perut yang lapar dengan cara yang berbeda.
“Merintih dalam tindih nikmat,” katanya. Mengukir sejarah di atas tubuh yang tak lagi asing. “Mengenang dalam gemetar puas,” katanya lagi, menyeka peluh yang tak pernah benar-benar mengering. Tapi apa yang tersisa ketika pintu rumah tertutup? Tangga yang menunggu di dalam, kian rapuh, hampir tak mampu menopang berat topeng yang mereka kenakan di luar sana.
Di dunia yang menua, bumi terus memutar jarum waktunya. Namun, penghuninya tetap terjebak dalam ritme anak-anak yang enggan tumbuh. Pesta demi pesta menjadi altar pemujaan; perut dan kelamin menjadi dewa-dewa kecil yang menuntut persembahan. Setiap suara tawa adalah gema yang palsu, setiap langkah hanya menghantarkan pada lubang yang semakin dalam.
Dan di luar, di bawah langit yang renta, dunia bertanya: kapan kalian akan mekar? Kapan jiwa-jiwa ini akan memahami bahwa dewasa bukan sekadar angka, melainkan nyala yang hidup di dalam diri? Tapi jawaban itu tetap tak pernah tiba, hanya bisik angin yang mengembalikan tanya.
Saat musik mereda dan sendok garpu tergeletak mati, hanya keheningan yang tersisa. Ranjang menjadi saksi bisu atas tubuh yang letih tanpa arah, dan tangga yang rapuh itu—yang menahan segalanya—hanya menunggu waktu untuk runtuh, menelan segala kenikmatan yang pernah mereka banggakan. Pada akhirnya, apa yang tersisa selain abu dari pesta yang tak pernah selesai?
Pomalaa, 20250101
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment