pergi-pulang tanpa nama

Di sebuah tanah lapang, orang-orang sibuk berlari. Mereka berebut sesuatu yang entah, memungut kayu lapuk dan menyusun tiang-tiang rapuh. Ada yang mengangkat tinggi bendera kecil di tangannya, seolah itu tanda kemenangan. Ada yang mendirikan kursi tinggi, tak peduli ia miring atau bergoyang. Semua sibuk, semua bangga, semua lupa.

Matahari kian garang, kulit mereka perih terbakar. Hujan datang, mengguyur hingga menggigil, tapi tangan mereka tetap menggenggam tiang dan kursi. Lalu badai mengaum, mencabut satu per satu bendera, menggulingkan kursi-kursi itu ke tanah. Mereka berteriak, meratap, tapi tak ada tempat berteduh.
Aku berdiri di tepi teras yang kosong bersama segelintir orang yang diam. Diam kami bukan karena lelah, apalagi kalah. Diam ini adalah protes, suara tanpa kata yang lebih nyaring dari gemuruh tiang-tiang yang jatuh. Kami bukan bagian dari perlombaan itu, karena kami sudah melampaui semua itu. Kami memilih untuk berkarya, bukan sekadar berlomba. Bagi kami, dedikasi adalah bangunan yang nyata, bukan tiang rapuh yang hanya bertahan sementara.

Dari kejauhan, suara pecahan kayu dan desah angin membawa percakapan samar, antara kami dan mereka yang masih mengejar.

"Kenapa kau diam saja?" tanya seorang lelaki tua yang memikul tiang, nadanya tajam seperti angin badai. "Kapal ini bisa karam kalau tak ada yang mendayung!"
Aku menatapnya dengan tenang, lalu menjawab, "Kapal akan karam bukan karena kami diam, tapi karena beban yang kalian buat sendiri."
"Apa maksudmu? Kami ini bekerja!" bentaknya, tapi aku menangkap cemas di matanya—seperti seorang kapten yang sadar kompasnya tak lagi menunjuk arah.
Aku mendekat selangkah, menunjuk tiang yang semakin rapuh di bahunya. "Bekerja atau berlomba?" tanyaku, pelan tapi tegas. "Kalian sibuk mencari tempat di dek, lupa bahwa air sudah masuk ke lambung kapal. Kami di sini tidak hanya berdiam—kami menjaga, merawat. Karena kapal ini butuh keseimbangan, bukan perlombaan."

Ia terdiam, terpaku oleh kata-kataku, tapi langkahnya tetap menjauh, menuju kerumunan yang semakin riuh. Mereka tak lagi peduli bahwa ombak mulai tinggi, hanya sibuk dengan apa yang ada di tangan mereka.

Seorang wanita dari kerumunan mendekat, matanya tajam seperti kilat di langit badai. Ia memandangku dengan raut yang sulit diterka. “Kalian ini pengecut,” katanya pelan, tapi menusuk. “Mengaku merawat, tapi hanya berdiri di sini. Apa yang kalian bangun? Apa yang kalian selamatkan?”
Aku tersenyum kecil, menyambut serangannya dengan tenang. “Kami merawat pondasi yang tak terlihat oleh mata. Apa artinya membangun tiang baru jika fondasinya retak? Apa artinya mendayung jika arah kapal tak menentu?”
Wanita itu mengerutkan alis, tetapi tidak menjawab. Aku melanjutkan, “Kalian bangga dengan tinggi kursi kalian, tapi lupa pada akar yang menopang semuanya. Kami di sini, menjaga akar itu. Apa gunanya bendera berkibar, jika pohon tempat ia terikat mati dari dalam?”

Ia terdiam, sementara lelaki tua tadi kembali menimpali. “Tapi siapa yang akan bertahan di sini kalau badai semakin parah? Kalian bisa menjaga, tapi apakah bisa bertahan?”
Aku menghela napas, lalu menjawab, “Bertahan adalah pilihan. Pergi juga sebuah pilihan. Tapi keduanya punya tanggung jawab. Jika kami bertahan, maka kami akan menjaga sampai akhir. Jika kami pergi, maka kami pergi dengan meninggalkan pelajaran, agar kalian tahu apa artinya pulang ke rumah yang hancur karena ditinggalkan.”

Di belakangku, salah satu dari kami—seorang pemuda yang diam sejak tadi—berkata lirih, “Kalian hanya melihat badai di luar, tapi badai terbesar sebenarnya ada di dalam hati kalian sendiri. Sebuah kapal bisa selamat dari ombak besar, tapi tidak dari pengkhianatan di lambungnya.”
Wanita itu menggigit bibir, sementara lelaki tua itu menunduk. Kata-kata pemuda itu adalah cermin yang terlalu terang untuk dihindari.

Kami yang tinggal di teras, memilih membersihkan rumah yang mulai tua. Dindingnya berdebu, atapnya melengkung, dan lantainya mulai retak. Tetapi di sinilah kami tinggal, merawat serpihan demi serpihan, sembari terus berkarya. Tak perlu sorak, tak perlu bendera, karena rumah ini bukan sekadar tempat. Ia adalah dermaga, pondasi dari nama yang sama-sama kami bawa.

"Kursi itu bukan tujuan kami," kataku pada mereka yang berdiri bersamaku. "Kami tak sedang mencari posisi, kami sedang menjaga yang esensial. Karena tanpa rumah, tak ada tempat untuk pulang. Dan tanpa kapal, tak ada pelayaran yang berarti."

Badai semakin kencang, dan aku menatap perahu kecil mereka yang diayun gelombang. Aku tahu ujungnya akan sama—tenggelam dalam beban yang mereka tambahkan sendiri.

"Apakah mereka akan sadar?" tanya salah satu dari kami.
"Entahlah," jawabku, meski hati ini penuh harap. "Tapi satu hal yang pasti: badai tidak datang tanpa alasan. Semoga ia cukup kuat untuk mengguncang mereka, untuk membangunkan yang tertidur dalam kesibukan tanpa makna. Karena rumah ini adalah jiwa. Dan jiwa hanya bertahan jika ada yang setia merawatnya."

Aku memandang langit yang berwarna kelabu, angin yang menghempas, dan debur ombak yang terus memukul. Di situ, aku tahu: kami telah memilih jalan kami. Kami bukan penonton. Kami adalah penjaga, pilar yang diam tapi kokoh. Dan ketika badai usai, hanya yang berdiri di teras yang tahu cara membangun kembali.

Namun, aku bertanya pada diriku sendiri—apakah kami harus bertahan sebagai jiwa-jiwa yang kuat atau pergi sebagai simbol jiwa-jiwa dengan wajah bijaksana?

Pomalaa, 20241228
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts