beku wajah fatamorgana
Di tepi sungai yang mengalir pelan, lelaki itu duduk di atas batu besar. Tubuhnya tegak, tapi ada sesuatu yang hening dalam caranya memandang. Jemarinya memutar-mutar ranting kecil, seolah itulah satu-satunya hal di dunia yang layak disentuhnya.
Langkah lembut terdengar di belakangnya, tapi dia tidak bergerak. Perempuan itu berhenti beberapa langkah darinya, mengamati sosoknya yang tampak begitu tenang, meski dunia di dalam dirinya mungkin sedang bergejolak.
“Kau selalu di sini,” katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh permukaan air.
Dia tidak langsung menjawab. Ranting itu berhenti berputar di tangannya sebelum akhirnya ia lemparkan ke sungai. “Bukan aku yang memilih tempat ini,” ujarnya lirih, dengan nada datar yang dingin. “Tempat ini yang memilihku.”
Perempuan itu mendekat, duduk di batu di sebelahnya, cukup dekat untuk merasakan dinginnya tapi tidak cukup untuk menyentuhnya. “Kau selalu punya cara untuk membuat segalanya terdengar seperti misteri,” katanya, mencoba mencari celah dalam sikapnya yang dingin.
Dia mengangkat bahu ringan, tanpa menoleh. “Misteri lebih aman daripada kenyataan. Orang-orang lebih suka menebak daripada tahu yang sebenarnya.”
Perempuan itu tersenyum kecil, meski hatinya sedikit perih. “Kau selalu seperti ini. Dingin, seolah tidak peduli. Tapi aku tahu, di balik semua ini, kau adalah seseorang yang sulit untuk tidak dirindukan.”
Dia menoleh sedikit, cukup untuk membuat tatapan mereka bertemu. Matanya dingin, seperti danau yang membeku di musim dingin, tapi ada sesuatu di sana yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya. “Aku tidak membuat orang merindukanku,” katanya dingin. “Jika mereka merindukan, itu masalah mereka, bukan aku.”
“Kau tahu itu tidak benar,” balas perempuan itu lembut. “Kau mungkin tidak sadar, tapi caramu diam, caramu hadir, membuat orang lain merasa aman. Kau seperti tembok yang tidak pernah runtuh, meski dunia di sekitarnya hancur.”
Dia tertawa kecil, getir. “Tembok juga bisa runtuh, kau tahu. Mereka hanya lebih pandai menyembunyikannya.”
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kau tidak pernah benar-benar runtuh. Bahkan ketika orang-orang yang kau tolong tidak tahu, bahkan ketika kau memilih tidak menunjukkan pedulimu, kau tetap ada. Itu yang membuatmu berbeda.”
Dia menatapnya lagi, kali ini lebih lama, sebelum akhirnya kembali memandang sungai. “Mungkin aku hanya tahu bagaimana harus ada di waktu yang tepat,” katanya pelan.
“Dan itu lebih dari cukup,” balas perempuan itu.
Dia menghela napas, angin senja membawa keheningan di antara mereka. “Kau tahu? Kadang aku ingin tidak ada. Tidak harus memikirkan apa-apa, tidak harus menjadi apa-apa.”
“Tapi kau tetap di sini,” perempuan itu menatapnya dalam-dalam. “Dan kau tetap menjadi seseorang yang selalu bisa diandalkan. Bahkan saat kau tidak memintanya.”
Dia tersenyum kecil, senyum yang lebih seperti bayangan ketimbang kehangatan. “Mungkin karena tempat ini yang memilihku. Sama seperti orang-orang itu.”
Perempuan itu mengerti, meski dia tahu lelaki ini tidak akan pernah mengakuinya. Dia adalah sosok yang dingin, datar, sering kali menakutkan. Tapi di balik semua itu, dia adalah seseorang yang peduli dengan cara yang tidak biasa—cara yang membuatnya langka, tak tergantikan, dan selalu dirindukan.
Dan saat lelaki itu melangkah pergi, bayangannya mulai memudar di antara senja yang memeluk dunia. Perempuan itu tahu, meski ia tak akan pernah mengungkapkannya, lelaki itu adalah sosok yang tidak akan pernah benar-benar pergi. Dia adalah bagian dari kehidupan yang tak tergantikan, seperti aliran sungai yang tak terlihat ujungnya—selalu mengalir meski kadang tak terlihat.
Dia mungkin bukan orang yang akan meraih sorotan, bukan yang akan mengumpulkan tepuk tangan, atau bahkan pengakuan yang diinginkan banyak orang. Tapi justru di dalam ketidaknampakannya, dalam cara ia berdiri tegak meski sepi, ada kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Lelaki ini adalah sosok yang selalu ada, di belakang layar, tanpa banyak bicara, tapi dengan keberadaan yang tidak bisa disangkal.
Hanya mereka yang bisa melihat lebih dalam, yang tahu bagaimana rasanya bergantung pada seseorang yang tidak meminta apapun, yang tak banyak menuntut. Lelaki ini bukan hanya berbeda, dia adalah kekuatan yang mampu menjaga tanpa perlu diperlihatkan—dan terkadang, justru karena dia tetap diam, orang-orang akan tahu bahwa ada keberanian terbesar dalam dunia yang sering kali tak mengerti.
Mungkin, dalam dunia yang sering kali menyala dengan kebisingan, dia adalah keheningan yang dibutuhkan untuk menciptakan ruang bagi mereka yang benar-benar peduli. Tidak banyak yang bisa memahami dia. Tapi bagi yang tahu, dia adalah seseorang yang layak untuk diakui, meski hanya dalam diam, aku adalah salah satunya.
Pomalaa, 20241227
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment