berguru pada hujan
Ada seorang manusia yang memanggul dunia seperti lautan menampung segala muara. Dia berjalan di antara waktu yang tak pernah menunggu, memungut setiap serpih masalah yang dilemparkan orang lain tanpa bertanya. Senyumnya ada, meski hambar, sekadar perisai tipis agar tak ada yang tahu bahwa hatinya adalah kapal yang nyaris karam. Sesekali dia mengeluh, namun keluhan itu tenggelam dalam deru kesibukan. Hidupnya adalah penyangga, tiang di tengah badai yang tak seorang pun ingin menghadapinya.
Namun di puncak kelelahan itu, ia mulai berbicara kepada dirinya sendiri, diiringi irama hujan yang baru turun.
"Aku ini seperti hujan, bukan? Orang-orang menantiku untuk menyegarkan mereka, tapi tak ada yang bertanya apakah aku ingin turun."
Dia mendongak ke langit kelabu, menunggu, dan berharap hujan dapat menghapus bebannya meski hanya sesaat. Dan hujan itu datang. Deras, penuh gelegar. Di bawah taburan air yang menghunus tubuhnya, dia berdiri, menerima semuanya. Tangannya terangkat, bukan untuk menolak, tetapi untuk menyambut. Air matanya bercampur dengan rintik hujan, menyembunyikan tangisnya.
"Betapa sempurnanya hujan menyembunyikan tangisnya," pikirnya, sambil menatap langit yang terus mencurahkan beban. Dia menari di sana, bukan karena bahagia, tetapi karena kesedihan tak lagi memiliki tempat untuk bertahan.
"Lucu, bukan? Aku ini lelah, tapi aku tetap berdiri. Aku ini hancur, tapi aku tetap menari. Apa aku gila? Atau aku hanya bodoh yang terlalu setia pada dunia yang tak pernah melihatku?"
Ketika hujan berhenti, tubuhnya menggigil dalam kesendirian, sementara orang-orang keluar menikmati pelangi. Mereka memuja warna-warna di langit, tak peduli pada hujan yang mengantarkan keindahan itu. Dia hanya tersenyum kecil, getir.
"Pelangi itu memang indah, tapi aku tak peduli. Aku adalah hujan. Aku datang untuk pergi, dan hanya ketika aku tak lagi ada, orang-orang baru sadar bahwa aku penting. Lucu sekali, ya?"
Namun dari semua itu, dia belajar. Setiap gigil mengajarinya untuk kuat, setiap deras memberi makna bahwa ia tak butuh pengakuan. Dia tumbuh di tanah keras, dan akarnya menjadi kokoh karena tak ada yang memberinya kelembutan. Dia menjadi dewasa, bukan karena ingin, tetapi karena keharusan. Dia menerima perannya, menjadi yang direncanakan tapi tak dianggap.
Pada akhirnya, ketika dia memilih untuk berhenti hadir, orang-orang mulai mencari. Saat tubuhnya tak lagi ada di bawah hujan, saat langkahnya tak lagi terdengar di jalan-jalan beban, mereka rindu akan kehangatan yang tak pernah mereka sadari ada. Kehilangan mengajarkan mereka, seperti hujan yang kini mereka rindukan, bahwa hadirnya dia bukan hanya sebuah kebetulan, tetapi sebuah karunia yang tak pernah mereka hargai.
Dia melangkah pergi, meninggalkan basah, meninggalkan kenangan. Dan dalam gigil terakhir itu, ia tersenyum kepada dirinya sendiri, berbicara dalam hati:
"Ya, selesai. Untuk satu waktu ini, sebagaimana kemarin dan dahulu, juga suatu waktu nanti di setiap persinggahan. Tetapi apakah semesta pernah belajar pada seorang diri dengan ribuan peristiwa, sebagaimana seorang diri belajar pada ribuan peristiwa kepada semesta? Jika iya, maka mungkin, aku tak benar-benar sendiri."
Lalu ia berlalu, menyerahkan dirinya pada angin, pada waktu, pada takdir yang tak henti berputar. Dan hujan, meski telah reda, masih menyimpan pesan itu di setiap asap permukaan tanh bumi yang menguap kembali ke langit.
pomalaa, 20241225
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment