pertempuran dalam medan diri

Hatihati duduk di sebuah sudut yang sepi, matanya terfokus pada pemandangan yang tampak biasa, namun setiap detailnya menyimpan seribu makna. Di dalam dirinya, pertempuran yang tak tampak sedang berlangsung—pertempuran antara amarah, harapan, dan kebijaksanaan yang tersembunyi. Dari dulu, hidupnya seolah menjadi medan perang. Sejak kecil, dia tumbuh dengan kemarahan yang tak terucapkan, dengan caci maki yang datang dari segala arah—dari lingkungan yang menilai, dari orang yang seharusnya mencintainya, dan dari dirinya sendiri.

Namun hari ini, dia merasa berbeda. Ada sesuatu yang mulai berubah. Beberapa waktu lalu, Hatihati merasa seperti dirinya adalah prajurit yang terus menerus mengangkat pedang, berjuang tanpa arah, dan mencari musuh di setiap sudut dunia. Namun kini, dia menyadari bahwa musuh terbesar bukanlah dunia di luar, melainkan pergulatan dalam dirinya sendiri.

Di tengah keheningan itu, suara pertama yang muncul adalah suara dari dalam dadanya.

Dada (suara marah dan penuh amarah):
"Kau benar-benar akan diam begitu saja? Mereka telah menghina dirimu. Mereka telah merendahkanmu, dan kau hanya duduk, berharap semuanya akan baik-baik saja? Kau harus membalas, Hatihati! Jangan hanya diam! Kenapa harus terus menderita?"

Hatihati menarik napas panjang. Dia tahu betul bahwa suara itu adalah bagian dari dirinya yang telah lama tertahan—kemarahan yang menggebu. Namun dia juga tahu bahwa jika dia terus mendengarkan suara itu, dia akan kehilangan sesuatu yang lebih penting.

Hatihati (berbicara perlahan pada dirinya sendiri):
"Tapi aku tidak ingin menjadi seperti mereka, Dada. Aku tidak ingin terperangkap dalam kebencian dan kemarahan yang terus-menerus. Aku sudah cukup dengan semua itu."

Dada (suara membesar, penuh gesekan):
"Namun mereka terus menekanmu! Mereka akan terus menertawakanmu jika kau tetap diam. Jangan biarkan mereka meremehkanmu begitu saja!"

Ketika suara itu mulai menguasai pikirannya, sebuah suara lain muncul, lebih tenang dan penuh cahaya, mengingatkan Hatihati akan sesuatu yang lebih besar dari amarah.

Kepala (suara yang terang dan penuh pencerahan):
"Hatihati, amarah bukanlah jawaban. Kau tahu itu. Perjuangan hidupmu bukan untuk membalas dendam. Cobalah lihat lebih jauh. Ada kekuatan lebih besar dalam kesabaran dan ketenanganmu. Dunia ini memang penuh dengan kekacauan, tetapi bukan berarti kau harus ikut terjebak dalam kekacauan itu."

Hatihati menutup matanya, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Namun sebelum dia bisa berkata lebih banyak, suara ketiga, lebih lembut dan penuh kebijaksanaan, meresap ke dalam dirinya.

Yang Tersembunyi (suara bijaksana, penuh keheningan):
"Hatihati, perjuanganmu bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang memahami. Kadang-kadang, kau harus berdamai dengan dirimu sendiri untuk bisa berdamai dengan dunia. Keinginan untuk membalas hanya akan membuatmu terus terperangkap dalam lingkaran kebencian yang tak pernah ada ujungnya. Apa yang bisa kau pilih hari ini adalah cara kau melihat dunia—sebagai ladang pertarungan atau sebagai tempat untuk tumbuh dalam damai."

Hatihati terdiam, merenung dalam kesunyian. Ketiga suara itu—Dada, Kepala, dan Yang Tersembunyi—adalah bagian dari dirinya yang selalu berjuang untuk mendapatkan tempat dalam pikirannya. Setiap suara membawa pesan yang berbeda, setiap suara mewakili sisi lain dari dirinya. Namun hari ini, dia tahu apa yang harus dia pilih.

Hatihati (dengan tegas):
"Aku memilih untuk berdamai dengan diriku sendiri. Aku memilih untuk tidak lagi terperangkap dalam amarah yang tiada akhir. Aku akan terus melangkah, bukan untuk membalas, tetapi untuk membawa kedamaian. Aku akan menggunakan kekuatan dalam diamku untuk memberi yang terbaik pada dunia."

Dengan kata-kata itu, Hatihati bangkit. Dia tahu bahwa perjalanan yang harus dia tempuh tak mudah. Setiap langkahnya adalah perjuangan—bukan melawan dunia, tetapi melawan dirinya sendiri. Namun, dalam hati yang lebih tenang, dia tahu bahwa pertempuran sejati adalah tentang menemukan kedamaian dalam diri, dan dengan itu, dia bisa melangkah lebih jauh.

Hatihati berjalan pelan, namun lebih mantap, menyadari bahwa dunia luar hanyalah cermin dari dalam dirinya. Semua yang dulu tampak menakutkan dan penuh konflik, kini terasa kabur di hadapannya. Dia tahu, pertempuran terbesar bukan untuk mengubah dunia di luar, tetapi untuk memahami dan menenangkan dunia di dalam dirinya.

Hatihati (dalam hati, dengan kesadaran yang baru):
"Jalan keluar itu tidak ada. Tidak ada jalan pintas untuk menghindar dari permasalahan hidup ini. Selama ini aku mencari jalan keluar, mencari solusi yang bisa menyelesaikan segala beban yang menghimpitku. Tapi semakin aku mencarinya, semakin aku merasa terjebak."

Dia menarik napas panjang, menyadari bahwa yang selama ini ia cari bukanlah jalan keluar dari masalah, melainkan jalan masuk—masuk ke dalam diri.

Hatihati (melanjutkan dalam pikirannya):
"Masuk kemana? Masuk ke dalam diri, mencari ketenangan yang tersembunyi. Di dalam diriku ada segala yang aku butuhkan untuk memahami dunia di luar. Ketika aku berbicara dengan diriku sendiri, aku akan tahu apa yang sebenarnya aku cari. Aku adalah pantulan dari reaksi dalam diriku sendiri. Dunia ini hanyalah cerminan dari apa yang ada dalam hatiku."

Hatihati merasa seperti ada sebuah pintu terbuka di dalam dirinya, pintu yang selama ini terkunci rapat oleh kebingungan dan kecemasan. Dia tahu, untuk menyelesaikan semua permasalahannya, dia harus memulainya dari dalam. Dengan berbicara pada dirinya sendiri, dengan menerima setiap bagian dari dirinya, baik yang gelap maupun yang terang, dia bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.

Hatihati (dengan keyakinan baru):
"Jika aku bisa menyelesaikan pertarunganku di dalam diriku sendiri, maka dunia luar tidak akan lagi menjadi ancaman. Semua itu hanya fatamorgana—sesuatu yang tampak nyata tetapi sebenarnya tidak ada. Semua kegelisahan, semua kekhawatiran, hanyalah bayangan yang akan hilang ditelan oleh kegelapan."

Dia merasa beban yang selama ini menghambat langkahnya mulai terasa lebih ringan. Semua kekhawatiran yang dulu membelenggunya kini tampak semakin kabur, seperti bayang-bayang yang menghilang saat malam datang. Dalam diamnya, dia mulai memahami bahwa dunia ini bukanlah tempat yang harus dikuasai atau ditaklukkan. Dunia ini hanyalah hasil dari bagaimana aku melihatnya, bagaimana aku meresponsnya dari dalam diriku sendiri.

Hatihati berdiri, matanya kini tidak lagi dipenuhi kecemasan. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, namun dia juga tahu bahwa dia telah menemukan kunci untuk melangkah dengan tenang. Tidak ada lagi jalan keluar yang harus dicari. Yang ada hanyalah jalan masuk ke dalam dirinya—tempat di mana kedamaian sejati dimulai.

Dengan langkah yang lebih ringan, dia melanjutkan perjalanannya, menyadari bahwa di luar sana, semua yang dulu tampak menakutkan hanyalah bayang yang akan hilang ketika dia berdamai dengan dirinya sendiri.

Pomalaa, 20241225
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts