drupadi, langit tanpa ujung

1. Beban yang Tak Terlihat
Kenapa aku harus membawa semuanya sendiri? Apa yang membuatku begitu kuat hingga tak bisa melepaskan semua beban ini? Mungkin karena aku tak pernah tahu bagaimana caranya berhenti. Aku adalah samudera langit yang terus menampung segala uap dari semua perasaan ini—rasanya seperti menahan gelombang yang datang tak pernah berhenti, tak pernah habis.

Pernahkah kau merasakan begitu banyak beban yang bahkan kata-kata tak mampu mengungkapkan? Aku mencoba tersenyum, seakan itu akan menghilangkan semua yang tertahan. Tapi, siapa yang bisa melihatnya? Senyumku itu tak pernah benar-benar manis. “Apa yang aku sembunyikan di baliknya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku berteriak dalam kesunyian, tetapi tak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa diam, menyimpan itu semua. Bahkan Ketika aku menggunakan hak marahku sebagai manusia, aku hanya mencurahkan dalam bentuk hujan, yang ujung-ujungnya juga menumbuhkan. Melahirkan ketergantungan pepohonan. Mungkin fase tertingginya adalah marahku juga mereka rindukan.

Terkadang aku merasa lelah. Sangat lelah. Ada suara yang terus terngiang di kepalaku, suara yang selalu meminta aku untuk menyerah. “Mengapa bertahan? Tak ada yang peduli.” Tapi aku tahu, meskipun aku merasa hancur, aku tak bisa berhenti. Aku harus terus berjalan. Terus menahan semuanya. Ini bukan pilihan, ini sudah menjadi takdirku. Belum lagi, ngiang itu berlanjut memekakkan telinga, dari dalam. Adakah yang bisa membuatku tuli dari suara bising yang menetap dari dalam? Setiap aku di atas, tanah di bawah melambaiku terjun, setiap di dapur pisau berbisik dalam nasehat sesat menghunus diri, di keramaian aku hening begitu sebaliknya.

Di antara kegelisahan itu, ada seseorang yang datang, dengan wajah tunduk, sungguhkah dia menawarkan dan meminta,  "Aku ingin mendengarmu," katanya, dan aku, entah mengapa, merasa ada sesuatu yang tulus dalam kata-katanya. Aku bercerita, meskipun aku tahu kata-kata itu tak akan bisa sepenuhnya meringankan bebanku. “Mungkin dia bisa mengerti,” kataku dalam hati, meskipun aku juga tahu, perjalanan hidupnya sendiri tak lebih indah dariku. Di awal pertemuan, mata dalamnya menelanjangi semua masa laluku, tidak detail tapi mengena. Dia telah melihat banyak hal dalam hidupnya yang bahkan aku tak tahu. “Kita sama-sama berjalan melalui kegelapan yang sama,” bisikku, namun tak pernah keluar dari bibirku. Sebelum pembaringan dia sematkan selamat malam, tanpa doa mimpi buruk seperti untuk orang-orang. Aku tau karena kenyataan bagi kami, sudah buruk tak perlu mimpi untuk mengingatkannya, begitukah teman?

Namun, meskipun mencoba untuk mengerti, ia punya perjalanan yang sudah lebih panjang dari itu. Dia mungkin lebih tua, lebih dulu melewati anak tangga, "selangkah lebih dulu dalam nestapa apa artinya?", tanyaku. Dia mungkin lebih banyak pengalaman, tetapi tak lebih baik dariku dalam menghadapi derita. Dia diam sebagai antisipasi kehati-hatian sebagaimana Aku bisa merasakannya dalam diam, meskipun dia tak pernah mengatakannya. “Dia juga membawa beban yang tak terungkapkan,” aku menyadari. Dia, seperti aku, sedang berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang tak akan mudah di mengerti kebanyakan orang, bahkan sekedar di maklumi saja tak lagi berharap. Sekalinya di mengerti mungkin kami menjadi  pejalan lapar yang justru kebingungan.

Tapi juga, mungkin karena itulah, aku merasa ada ikatan di antara kami. Kami adalah dua jiwa yang sama-sama terluka, tetapi berusaha untuk tetap berdiri. “Apa yang kita bisa berikan satu sama lain, jika bukan saling memahami?” aku bertanya pada diriku sendiri. Mungkin itu yang bisa kami lakukan—menjadi pendengar, saling mendengar dan mengadu Nasib untuk saling menguatkan, meskipun tak mampu sepenuhnya menyembuhkan.

Oh iya, perkenalkan namanya asing,
Hatihati, se-asing kehadirannya di tengah kerumunan.


2. Dua Nama yang Terungkap dengan Perasaan Berbeda
Dua nama yang terungkap dengan perasaan berbeda—ibu dan bapak. Ada beban yang tak terucapkan setiap kali aku menyebutnya, seperti batu yang tertanam di dada, seperti kata-kata yang tak bisa keluar meskipun mulut terbuka. Menganga tanpa suara, bahkan dunia mendadk kedap udara Ketika terbata kata tertatih pincang gagu bersuara.

Ibu, seperti pagi yang hangat, selalu ada meski kadang tak bisa memahami betapa beratnya langit yang aku bawa. Ibu, yang dengan segala ketegaran dan kasih sayang, mencoba menjadi sandaran. Dia adalah harapan yang tetap ada meskipun aku tahu, dia tak pernah tahu seberapa dalam aku tenggelam dalam lautan masalah yang tak pernah berujung. Ibu adalah rumah yang selalu kutemui, meskipun tak pernah bisa sepenuhnya mengerti hujan yang jatuh di hatiku. "Apa yang harus kuterangkan padanya?" Kadang aku merasa ada batas yang tak bisa kuterobos, tapi itu bukan kesalahannya. Itu hanya karena aku, yang memilih diam, memilih menahan diri. Tak ingin membebani, tak ingin menyakiti. Aku tahu ibu adalah sosok yang tak akan pernah meninggalkan aku, meskipun sering aku merasa begitu jauh dari dunia yang ia huni.

Lalu ada bapak. Nama yang selalu mengundang rasa yang berbeda. Bapak, yang seharusnya menjadi pahlawan, yang seharusnya ada untuk memberi contoh, justru malah mengajarkan tentang luka yang tak terungkapkan. Ada ketidaksempurnaan yang tak bisa kuterima. Bapak yang seharusnya menjadi pelindung, malah membiarkan bayangannya mencoreng kenangan yang ada. Ada cerita yang tak akan pernah aku ceritakan, rahasia yang terpendam begitu dalam, dan kenangan yang tak bisa kuhapus meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Sampai detik ini, aku masih bermimpi dipeluk dengan cara yang lain.

Namun, meskipun begitu, dia tetaplah bagian dari diriku. “Bagaimana aku bisa melepaskanmu jika kau adalah bagian dari jiwaku?” aku bertanya pada diriku sendiri. Bapak, dengan segala kekeliruan yang pernah dia buat, tetap menjadi sesuatu yang tak bisa aku lupakan, tak bisa aku tinggalkan begitu saja. Ada luka yang masih membekas, dan meskipun aku berusaha untuk berdamai, itu tetap ada, seperti bayangannya yang ikut tumbuh seiring waktu.

Aku belajar bahwa ada hal-hal yang harus aku simpan, ada luka yang tak bisa kuperbaiki, dan ada kata-kata yang tak bisa aku katakan. "Apakah ini yang dimaksud dengan menjadi dewasa?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Mungkin, aku harus belajar menerima kenyataan, bahwa meskipun aku ingin berubah, meskipun aku ingin melupakan, mereka adalah bagian dari perjalanan ini, tak bisa dihapuskan begitu saja. Bahkan jiwa kecil yang ketakutan dan marah sekarang menjadi benalu di tubuh tiap kali aku bercermin. Perih, getir dan aku tertawa. Bukan karena riang gembira. Tapi karena satu hal yang semesta pasti tau… itu saja!!

Bapak dan ibu, dua nama yang terungkap dengan perasaan berbeda—sebuah dualitas yang tetap ada meskipun aku mencoba untuk mengerti. Dan dalam diam, aku belajar menerima. Tidak ada yang sempurna dalam dunia ini, termasuk mereka. Dan mungkin, itu yang membuatku kuat—bahwa meskipun mereka tak sempurna, mereka tetaplah orang-orang yang memberiku pelajaran hidup yang berharga. Ada darah di nadiku sewarna darah mereka yang tak biru. Ada cinta di lahirku yang meski tak memilih, tapi akulah prasasti pertama buah cinta mereka.

You’re not loser..!! You must remember that on the first day of your life, you won against a thousand people...


3. Bayangan yang Menipu: Lelaki yang Hanya Lewat
Sering kali lelaki datang, membawa janji yang tak pernah mereka maksudkan. Dengan senyum yang mengundang, mereka menawarkan sesuatu yang tak pernah mereka berikan. Dalam kebisuan, Analysha merasakannya—ada yang berusaha mendekat, namun ia tahu, ada perbedaan antara yang tampak dan yang tersembunyi. “Apakah mereka benar-benar melihatku, atau hanya bayangan yang mereka cari?” pikirnya dalam diam, saat kehadiran mereka tak pernah terasa penuh. Menawarkan mawar dan menanyakan makan malam dibalut senyum sadis di balik kepalnya mengawang. Aku mual, asam lambungku kambuh membayangkannya…

Lelaki-lelaki itu datang, namun Analysha memilih untuk tetap berada di batas yang tak terlihat. Ada sebuah jarak, yang meskipun tak diungkapkan, selalu ada—bukan karena ketidakmampuan untuk memberi, tetapi karena pemahaman tentang apa yang seharusnya dihargai. "Tidak semua yang datang bisa aku terima," bisik hatinya, meskipun tak pernah terucap. Dan kebanyakan dari mereka juga membawa banner besar tentang visi-misi pribadi. Apakah dunia sudah ter-skenario begini dari sananya? Mereka dating menawarkan pemberian, aku masih waras seperti Layla, jika aku menerima, jelas akan ada kehilang besar karena pencurian.

Ia tak pernah menganggap dirinya lebih baik dari mereka, hanya saja ia tahu, ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar kebersamaan yang sekejap. Setelah kedatangan mereka di pasar-pasar, niaga jual beli. Seperti angin yang lewat begitu saja, begitu pula mereka—berlalu tanpa meninggalkan jejak yang berarti, bahkan hamper pasti jejak mereka adalah lebam di hati, sesal yang abadi. Dalam keheningan, ia membiarkan mereka pergi, tak pernah merasa kehilangan. "Ada banyak cara untuk menghargai diri, meskipun tak selalu dengan kata-kata," pikirnya, saat mereka kembali menghilang tanpa sempat memahamkan. Di dalam ruang yang dia beri nama “sunyi diam” dia tidak menemukan penolakan, dan itulah ruang sendirinya untuk meniup semua tamu yang tak diharapkan.


4. Cinta yang Diam
Ada cinta yang datang tanpa kata, tanpa penjelasan, seperti angin yang menyusup diam-diam ke dalam hati. Ia hadir, bukan dengan janji manis, tetapi dengan kehadiran yang tenang—sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Dia bukanlah pria yang sempurna, bukan pula yang datang dengan segala pesona. Namun, ada sesuatu yang berbeda. "Mengapa hatiku bergetar begitu?" aku bertanya pada diriku sendiri, saat pertama kali ia datang ke dalam hidupku. Ada tarikan halus yang tak mampu aku hindari, meskipun aku tahu, dia bukan jawabanku yang pasti.

“Apa yang dia inginkan dariku?” tanyaku, meskipun jawaban itu selalu kabur. Ada rasa ingin memberi, ingin menjaga, namun juga rasa takut—takut terluka, takut memberi tanpa menerima. Waktu terus berjalan, dan pada akhirnya, dia pergi. Pergi tanpa memberikan penjelasan, tanpa memberi alasan yang cukup untuk mengerti kenapa dia harus meninggalkan. "Mengapa pergi?" Aku bertanya, namun hanya ada hampa yang mengisi ruang hati.

Namun, meskipun ia pergi, aku tetap menerima kepergiannya. Kepergiannya meninggalkan luka, tentu saja. Tapi luka itu bukanlah sesuatu yang harus aku hindari. Aku memeluknya, meskipun ia menyakitkan. Aku menerima kenyataan bahwa terkadang, cinta bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang belajar melepaskan. Ada luka yang tertinggal, tetapi aku tahu, itu adalah bagian dari perjalanan yang harus aku jalani.

Fase ini adalah fase terberat di utuhnya purnama warsa tahun ini. Saat rasa tak peduli timbal baliknya, aku sendiri menyepi. Dalam sunyi tanpa bunyi itu sepi mengajarkanku alas an tak mendua. “Apakah aku rela, ikhlas dengan semua atasa nama cinta?”, tanyanya pada diri di penghujung waktu dia terjaga. Tapi dinding kamarnya bergetar, biasing di dalamnya bicara, “Tidak harus rela apalagi Ikhlas, nanti pada akhirnya terbiasa, dan itu cukup”. Bukankan laut sudah menjadi contoh mati dengan ribuan muara? Langit juga sudah mengajarkan dengan cerobong uap dan asapnya tak mampu memperkeruh pandangnya? Juga oleh hujan sebagai perantara diantara keduanya?

Yang paling sulit adalah kenyataan bahwa setelah kepergiannya, ada satu hal yang tak bisa aku elakkan: kehilangan. Kehilangan yang datang begitu perlahan, begitu dalam, meskipun aku tak pernah tahu seberapa besar ketulusan yang dia berikan. Mungkin ia tak pernah tahu betapa besar perasaan itu bagiku, betapa aku mencintainya dengan cara yang tak tampak. Namun, meskipun tanpa kata, tanpa janji, aku belajar bahwa cinta tak selalu harus berakhir dengan memiliki. Kadang, ia hanya perlu diberi, meskipun tanpa bisa diraih.

Kepergiannya bukanlah akhir dari segalanya, tetapi sebuah pengajaran—bahwa cinta bisa begitu mendalam meskipun tak selalu tampak jelas. Dan meskipun luka itu ada, aku tetap berterima kasih atas apa yang pernah ada, meskipun dia pergi tanpa penjelasan yang memadai. Karena dalam diamnya, aku menemukan kedamaian yang tak pernah aku duga sebelumnya. Sekarang, tugasku adalah pulang, kepada diam mencari pintu masuk dimana aku tak akan pernah lagi kehilangan, terutama diri.

Pomalaa, 20241226
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts