prosa kopi
gelap malam bergulir tenang, memayungi bumi dengan selimut cahaya yang berpendar seperti kebijaksanaan alam. Sisa hujan di sudut bawah genting memangkok di tanah pasir, juga sayup di pecah jatuh mencium dedaunan basah. Di sudut sebuah kedai kecil, seorang lelaki merenungi secangkir kopi hitam pekat—eliksir sederhana yang menyimpan rahasia semesta dalam aromanya.
Ia terseret ke dalam pusaran ingatan tentang seorang sahabat, bukan sekadar teman, melainkan cermin jiwa yang memantulkan bayangan paling jernih dari dirinya. Percakapan mereka adalah simfoni kata-kata, sebuah labirin pemikiran yang berkelok di antara kebingungan dan pencerahan bahkan diantara diam yang satu dengan dendam yang lainnya.
Dalam kebersamaan itu, ia menyadari makna damai: sebuah harmoni yang tidak berasal dari kebisuan, tetapi dari kesediaan mendengar. Tak selalu lahir dari di terima, tapi juga kesadaran untuk diam, mungkin pergi. Kehadiran sahabatnya adalah seperti mercusuar di tengah kabut eksistensi—menerangi tanpa menuntut balas.
"Ah," gumamnya, "hidup ini adalah kumpulan serpihan kecil; secangkir kopi, seulas senyum, seutas dialog sederhana. sebagian lain tentang menpersilahkan, berbagi, memberi juga secuil gorengan dingin tadi pagi. Tetapi di sanalah, dalam retakan-retakan kecil itu, cahaya filsafat dan keindahan bertaburan."
Ia menyesap kopi terakhirnya perlahan, seolah mengecap esensi damai, dan mendapati bahwa bahagia adalah perkara memahami, bukan sekadar memiliki, mendengar juga mensyukuri, atau jalan luka yang dirajut sendiri untuk membusanakan bahagia, bukan untuknya sendiri tapi siapa saja yang dia kasihi...
Yogyakarta, 20241222
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment