negri di bawah langit rumah kami

Di suatu senja, keluarga kecil itu duduk melingkar di depan rumah, menikmati angin yang membawa wangi tanah setelah hujan. Ibu, dengan tenang menganyam tikar kecil di pangkuannya. Bapak, seperti biasa, duduk di kursi rotan tua sambil memandang jauh ke arah pohon bambu di ujung kebun. Monto, Costa, dan Fabre duduk di lantai tanah, masing-masing dengan kepribadian yang saling mengisi, tetapi kerap berbenturan.

Suara Costa, yang selalu penuh rasa ingin tahu, memecah keheningan. “Bu,” tanyanya dengan dahi berkerut. “Kenapa Bapak selalu diam? Apa beliau tidak pernah kesal atau senang? Atau mungkin... Bapak tidak peduli dengan kita?”

Ibu berhenti menganyam, menatap anak tengahnya dalam-dalam, matanya penuh kasih sayang dan kebijaksanaan yang sudah terbukti lewat banyak tahun. “Diam itu doa yang tak bersuara, Nak. Mungkin Bapakmu sedang berbicara dengan Tuhan dengan cara yang kita tak pahami.”

Costa mengernyitkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi Bu, apa Bapak benar-benar mendengar kita? Kadang aku merasa seperti tidak ada artinya di mata Bapak. Kakak selalu dibela, Fabre selalu disayang. Aku hanya seperti bayangan di antara mereka.”

Bapak menghela napas, matanya tetap tertuju pada pohon bambu di ujung kebun. Lalu ia berkata dengan suara berat, “Bambu tak pernah menilai bayangannya sendiri, Costa. Ia hanya berdiri tegak, membiarkan angin mengajarinya untuk kokoh.”

Costa terdiam sejenak, mencerna kalimat itu, tapi rasa ingin tahunya belum padam. “Tapi, Bapak... apa aku benar-benar terlihat seperti bayangan saja? Apa ada yang pernah Bapak lihat dalam diriku yang membuat Bapak bangga?”

Monto, si sulung dari tiga bersaudara itu, mendekat dan menepuk bahu adik tengahnya seraya berkata dengan lembut, “Costa, kau tahu aku selalu di belakangmu, mengamati dan belajar darimu. Bapak mungkin tidak selalu menunjukkan kebanggaannya, tapi aku tahu, di dalam hatinya, ia sangat bangga pada keberanianmu. Kau berdiri tegak, meskipun sering terasa seperti angin yang tak pernah tenang. Itu sesuatu yang aku kagumi.”

“Memang enak jadi kakak,” gumam Costa dengan nada sedikit kesal. “Kau selalu dibela. Apa pun yang kau lakukan selalu dianggap benar.”

Monto tersenyum kecil, bijak seperti biasa. “Benar menurut siapa, Costa? Aku hanya lebih sering memilih diam. Kadang, kebenaran itu bukan soal pembelaan, tapi soal tanggung jawab. Kalau aku salah, aku tahu harus menanggungnya tanpa mengeluh, karena aku yang lebih tua.”

Kata Fabre, si bungsu yang agak cengeng, sambil menyeka air mata, “Aku juga mau jadi kakak! Tapi aku nggak bisa. Aku nggak kuat kalau harus dimarahi duluan.”

Costa langsung tergelak. “Kau kakak? Belum apa-apa sudah nangis. Kalau ada masalah, kau pasti langsung sembunyi di balik Ibu.”

Fabre mengangkat wajahnya dengan mata merah, “Tapi kan... kalau aku sembunyi di balik Ibu, Ibu selalu bilang aku anak manis.”

Semua tertawa, bahkan Bapak tersenyum tipis. Ibu ikut bicara dengan nada menenangkan, “Fabre, kamu memang anak manis. Tapi menjadi manis bukan berarti kamu harus selalu dilindungi. Kamu juga harus belajar melindungi dirimu sendiri, Nak.”

Costa menambahkan dengan nada menggoda, “Kalau aku peluk Ibu, boleh nggak?”

“Boleh,” jawab Ibu, “asalkan setelah itu kau tetap kuat berdiri.”

Monto memandang adik-adiknya dengan senyum hangat. “Kalian tahu, kalian adalah alasan aku terus berusaha lebih baik. Costa, dengan keberanian dan pertanyaanmu yang sering membuatku kagum. Fabre, dengan caramu yang lucu tapi selalu mengingatkan kita untuk saling menyayangi. Tanpa kalian, aku hanya tiang tanpa dinding dan atap.”

Costa terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada pelan, “Kakak, aku tahu kadang aku keras kepala. Tapi sebenarnya, aku selalu belajar dari ketegasanmu.”

Fabre menambahkan sambil mengusap hidungnya, “Dan aku belajar dari semuanya... meski aku sering nangis.”

Senja semakin memerah, dan angin lembut menyentuh kulit mereka, membawa aroma tanah yang basah dan keheningan yang penuh makna. Dalam diam yang penuh kasih, mereka tahu, meskipun tak selalu terlihat, setiap perbedaan dan kebisuan adalah cara mereka menunjukkan cinta yang sejati. Di rumah ini, setiap langkah, setiap kata, dan bahkan diam pun adalah bentuk dari saling mendukung, saling melindungi, dan saling memiliki. Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena cinta itu terasa di setiap detik yang mereka jalani bersama, dalam cara yang paling sederhana namun mendalam.

Di tengah kehangatan itu, angin bertiup pelan, membawa bisikan yang terasa seperti janji damai di bawah langit rumah itu. Mereka tahu, keluarga itu mungkin tak sempurna, tetapi seperti bambu, mereka akan terus tumbuh kokoh, menari bersama angin yang datang silih berganti.
Mereka menemukan keharmonisan dalam perbedaan, saling mendukung dan menjaga satu sama lain, setiap hari. Cinta mereka tak pernah berwujud besar atau dramatis, namun terasa dalam setiap langkah, dalam setiap senyuman, dan dalam setiap keteguhan untuk tetap berdiri bersama, melewati kehidupan yang tak selalu mudah.

Pomalaa, 20241228
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts