Tirai Terbuka ke Arah yang Aku Tidak Kenal

Dalam senyap yang tak pernah benar-benar sunyi,
aku berdiri di batas antara terang dan kabut.
Bukan terang mentari, melainkan terang pengertian.
Bukan kabut pagi, melainkan kabut kemungkinan.
Melainkan antara yang telah kukenal terlalu dalam,
dan yang belum menyebut namaku.
Seperti berdiri di depan gerbang yang belum memiliki nama,
aku menatap ke arah yang tidak memanggil, tapi mengandung magnet beda kutub denganku.
Selama ini aku mengabdi pada bidang yang tak terlihat oleh kebanyakan mata,
tapi justru menopang banyak hidup.
Sebuah dunia yang diam-diam menggurat garis nasib.
Di sana, aku menjadi pembaca kontur,
pengetuk tanah, penjaga garis elevasi.
Dengan tangan kanan kugenggam presisi,
dan di tangan kiri kutanamkan adab yang tumbuh dari akar purba yang diam, menunduk, menghitung nafas bumi.

Aku membangun bukan hanya rumah, hanya untuk cermin singgah,
bukan dinasti, tapi keluarga yang selalu ada segala warna, senyum, pelukan, tawa, cerita dengan sedikit kekacauan 
yang lahir dari juang panjang dan kesabaran,
bukan hanya dari rumus atau buku,
tapi dari rasa percaya dan kehadiran yang penuh.
Setiap garis yang kutarik, setiap simpul yang kuikat,
selalu kulandasi dengan sesuatu yang lebih tua dari ilmu,
yakni rasa hormat terhadap yang tak terlihat.

Namun hari ini,
sebuah getar halus semakin tegas, bukan kali pertama, tapi aku lupa saking rimbunnya getar itu entah dari kapan, yang aku baca sebagai tanda bahwa waktunya telah tiba.
Aku tak lagi merasa tertantang oleh hutan labirin yang kukenal terlalu dalam.
Semua sudah terjamah, setiap belokan telah kuraba.
Dan saat seisi rimba tak lagi memberikan perlawanan,
ia berubah menjadi cermin yang membiaskan diriku sendiri.

Siapakah aku kini, ketika tak ada lagi yang perlu ditaklukkan?
Apakah aku seorang arsitek kontemporer,
yang tidak merancang gedung, melainkan ruang batin,
yang tidak membangun kota, melainkan kesadaran, 
meletakkan fondasi dari kesetiaan, presisi, dan sabda sunyi?

Ataukah aku hanya seorang regista kehidupan,
mengatur ritme pergerakan yang tak pernah tercatat dalam catatan akhir pertandingan, 
namun meninggalkan jejak di langkah-langkah mereka yang semula tak tahu arah?

Atau mungkin aku adalah peziarah sunyi,
yang berjalan bukan untuk dikenang,
tetapi untuk menjaga agar waktu tetap memiliki penanda,
agar keheningan tetap memiliki penafsir.

Dan jika aku memang hanya itu, apakah itu cukup?
Atau justru di situlah puncak pendakian sejatinya berlembah?

“Sudahkah engkau mencapai puncak?”
tanya diriku yang lebih tua, berdiri dalam bayangan pagi.

“Atau hanya kau telah terlalu lama diam,
hingga ilusi puncak itu tumbuh dari dataran yang tak lagi berubah?”

Aku tidak sedang mengejar kenaikan.
Tidak pula menghindar dari kemunduran.
Yang kucari adalah lain.
Sesuatu yang tidak bisa dinamai sebelum dialami.
Yang tak tampak pada peta, tapi terasa dalam dada.

Langkah ini bukan pelarian.
Ini adalah ziarah,
ziarah dari seorang arsitek ruang menuju belantara yang lebih perawan.
Bukan untuk menaklukkan,
tapi untuk ditaklukkan kembali oleh keasingan yang membentuk.
Untuk menjawab panggilan yang bukan suara,
melainkan desakan sunyi dari kedalaman, yang aku dengar sendiri, ya sendirian. 

“Tapi bagaimana jika jalan barumu bukan puncak,
melainkan lereng yang curam dan licin?”

“Bukankah pendakian yang sejati bukan tentang ketinggian,
tapi tentang keberanian untuk tetap melangkah
meski tak tahu apakah ada puncak sama sekali?”

Perpindahan ini tidak untuk gelar, tidak pula demi silau
Yang kucari adalah tanah baru,
yang bisa membangkitkan sisi dalam diriku yang mulai mengering juga tanah yang menjadi tempat tumbh benih-benihku yang lain.
Seperti daun yang tak tahu ke tanah mana ia akan jatuh,
aku ingin melayang, bukan karena kehilangan arah,
tetapi karena tahu, bahwa arah sejati terkadang tak terlihat,
namun tetap membisik dari dalam.

Aku ingin membangun sesuatu yang tak serupa dengan sebelumnya,
tapi lahir dari benih yang sama, 
keinginan untuk memberi bentuk pada kekacauan,
dan menciptakan makna dari ruang kosong yang belum punya arah mata angin.

“Pergi bukan berarti meninggalkan,
tetapi memberi kesempatan pada sesuatu yang lain
untuk lahir darimu.”

Dan bila kelak kutemukan ruang itu
yang belum disebut peta,
yang belum disentuh pena,
aku tidak akan datang sebagai penguasa,
melainkan sebagai pemula.
Karena hanya mereka yang sanggup menjadi murid kembali,
yang pantas jadi tuan di rumah berikutnya.

“Aku tak sedang mencari lebih.
Aku sedang mencari lain.”

Pomalaa, 20250425
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts