lelaki hujan reda
Hujan tak lagi datang seperti dulu. Langit pun tak lagi mengirim pesan lewat rinai yang jatuh di ubun-ubun. Aku duduk di beranda, menatap hamparan tanah yang mulai retak, mendengar gema keheningan yang semakin dalam. Pernah aku menjadi hujan bagi mereka yang dahaga, namun kini aku memilih diam, bukan karena aku tak peduli, tetapi karena aku paham: tak semua ingin diselamatkan.
Aku pernah menjadi angin yang menuntun layar mereka, tetapi berapa banyak yang bersedia mendengar desau petuahku? Mereka memilih badai, memilih tenggelam dalam arus yang mereka ciptakan sendiri. Dan aku? Aku hanya lelaki yang kini memilih duduk, mengamati, membiarkan waktu menjawab.
Hujan tak datang, tapi aku masih di sini,
menatap jejak langkah yang tertinggal di tanah mati.
Kau datang dengan air mata,
lalu pergi tanpa peduli siapa yang basah.
Aku hanya bayang yang diam,
bukan karena bimbang,
tapi karena tahu,
bahwa yang mencari akan menemukan,
dan yang hilang tak selalu ingin kembali.
"Mengapa kau tak lagi berbicara?" suara itu muncul dari bayanganku sendiri. Sosoknya berdiri di ambang pintu, berwujud masa lalu yang tak hancur oleh waktu.
Aku menoleh. "Karena kata-kata telah kehilangan maknanya di hadapan mereka yang tuli."
Dia tersenyum tipis. "Ataukah karena kau takut mereka tak lagi kembali padamu?"
Aku menghela napas. "Aku tidak menunggu siapa pun kembali. Aku hanya tak ingin terus menjadi perahu bagi mereka yang hanya ingin pergi."
Sunyi merayap di antara kami. Hujan yang dulu kerap menjadi teman bicara, kini hanya bayang-bayang dalam ingatan. Aku bukan musim yang berubah, aku hanya berhenti menjadi pelarian bagi mereka yang tak tahu arah.
Aku teringat, betapa sering mereka datang dalam luka, meminta secercah cahaya, lalu pergi setelah menemukan jalannya sendiri. Mereka tak pernah benar-benar tinggal, hanya singgah saat gelap melanda. Seperti pejalan yang berlindung sebentar dari badai, lalu bergegas saat langit kembali terang.
Mungkin itu sebabnya aku diam. Aku tak ingin lagi menjadi persinggahan sementara. Aku ingin menjadi tanah yang mereka hargai, bukan sekadar atap yang mereka tinggalkan begitu hujan reda.
Mereka akan datang lagi, suatu hari nanti. Ketika jalan di depan mereka buntu dan pilihan tak lagi ada. Aku tak menutup pintu, tak pula mengundang. Aku tetap di tempat yang sama, menunggu bukan sebagai penanti, tetapi sebagai saksi bahwa hujan tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk jatuh kembali.
"Tak ada yang benar-benar hilang, hanya tersembunyi dalam diam menunggu untuk ditemukan kembali."
Solo, 20250403
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment