Gamelan Hidup

Diri bertanya kepada Semesta:
Apakah hidup ini harus keras, untuk menjadi nyata?
Semesta menjawab lewat getaran sunyi,
“Dengarkanlah gamelan. Di sana, hidup tidak dibentak, tapi dipeluk perlahan.”

Gong Ageng
Aku adalah awal dan akhir,
denting tunggal yang menandai kelahiran dan pulang.
Di dadaku gema semesta berpulang,
dalam diamku, kau akan mengerti segalanya.
Diri berkata pada Waktu:
Kenapa engkau tidak pernah menunggu?
Waktu tersenyum, lalu menunjuk kendang.
“Lihatlah,” katanya, “irama bukan soal cepat atau lambat, tapi tentang tahu kapan harus diam dan kapan bergerak.”

Kendang
Aku detak,
pengatur irama langkah dalam kekacauan.
Bukan untuk memimpin, tapi menyadarkan:
bahwa hidup perlu jeda,
dan setiap keputusan punya waktu terbaiknya.

Diri berbisik kepada Jiwa:
Apakah yang kutemui di luar sana bisa menjawab pertanyaan dalam dadaku?
Jiwa mengajakmu duduk dalam getar bonang.
“Kadang, pertanyaan yang tak terjawab justru menjagamu untuk terus berjalan.”

Bonang
Aku pertanyaan,
berlapis dan tak pernah selesai.
Dalam tiap ketukan, 
ada tanya-tanya yang belum sempat dijawab.
Tapi bukan jawaban yang kucari,
melainkan kesediaanmu untuk terus mencari.
Diri berbincang dengan Sesama:
Kita berbeda, tapi mungkinkah tetap seirama?
Sesama menunjuk saron,
“Lihat aku, seperti saron, kukunci nadaku agar kita bisa selaras. Dalam harmoni, tidak ada yang tinggi atau rendah, hanya saling memberi ruang.”

Saron
Aku langkah,
tegap namun tidak tergesa.
Nada-nadaku adalah batu pijakan,
agar kau tidak tergelincir
di jalan yang tak selalu lurus.

Diri berbicara dengan Air:
Kau begitu lembut, tapi mengukir batu. Bagaimana mungkin?
Air hanya mengalir bersama gambang,
“Karena kelembutan adalah kekuatan yang tak terlihat.”

Gambang
Aku aliran bening,
mengalun seperti sungai yang tak menuntut tepian.
Aku mengajari,
bahwa kelembutan lebih kuat dari kerasnya dunia.

Diri berdialog dengan Keheningan:
Mengapa engkau terasa lebih nyaring dari ribuan suara?
Keheningan menjelma gender,
bergetar lembut, namun dalam.
“Karena dalam diamku, kau menemukan dirimu yang sesungguhnya.”

Gender
Aku bisikan halus,
menggetarkan yang lembut di dalam dirimu.
Bukan untuk menggelegar,
tapi untuk mengingatkan:
bahwa yang lembut pun bisa menggugah jiwa.

Diri bertanya pada Rindu:
Kemana kau ingin membawaku?
Rindu menjelmakan dirinya dalam suara rebab,
dan menjawab lirih,
“Menuju rumahmu yang sejati, yang sejak awal telah kau jauhi tanpa pernah sejatinya kau tinggalkan.”

Rebab
Aku lengkung rindu,
senar yang menghubungkan bumi dan langit.
Nada-nadaku menyayat pelan,
mengajakmu pulang ke tempat yang belum pernah kau tinggalkan.
Diri berbicara pada Batas:
Kapan aku tahu, aku harus mulai dan kapan harus kembali?
Batas menjelma dalam kenong dan kempul,
menggema lembut,
“Aku bukan dinding. Aku tanda. Bacalah aku, dan kau akan tahu arahmu.”

Kenong & Kempul
Kami penjaga,
yang menandai batas dan arah.
Dalam hidup yang tak selalu jelas,
kamilah yang mengingatkanmu:
di mana kau memulai,
dan ke mana kau kembali.

Akhirnya Diri berbicara pada Tuhan, tanpa kata:
Bukan dalam bahasa, bukan dalam konsep,
tapi dalam gema gamelan yang membisikkan ke dalam:
“Tuhan tak harus dijawab, cukup dirasakan,
seperti getar yang tak kau lihat,
namun menuntunmu pulang.”

Yogyakarta, 20250410
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts