tafsir sunyi Kurukshetra, dan Tuhan tak bermain dadu..
Langit tak pernah bersuara, tapi ia mendengar semua.
Dan padang rimbaraya ini kusebut sebagai Kurukshetra, medan di mana baratayudha di gelar. Bagiku, setiap hidup adalah peperangan, bahkan darimanapun sudut pandangnya. Seperti kelihatannya, cheetah dan kancil dalam tulisanku kali ini.
Dimana seekor kilat bernama cheetah membelah padang, bukan hanya mengejar makan, tapi seolah mengejar kebermaknaan.
"Tuhan," bisik cheetah, “aku lapar. Bukan hanya akan daging, tapi akan kepastian.”
Sementara itu, di sisi lain tanah lapang, seekor kancil kecil berlari dalam napas yang tercekat. Ia tidak sedang ingin menang, ia hanya ingin tidak mati hari ini. “Tuhan,” ucapnya, “jangan biarkan aku menjadi cerita sedih dalam hidup-Mu.”
Kadang yang berlari bukan ingin tiba,
tapi takut diam di tempat.
Dan aku?
Apa aku cheetah yang merasa berhak karena telah berusaha,
atau kancil yang hanya berharap diberi waktu sedikit lagi?
Di dalam dada ini, ada suara kecil yang bertanya:
“Apa aku sedang meminta... atau sedang menyalahkan?”
Pertanyaan itu muncul, dan mengendap di relung.
Doa siapa yang harus dijawab?
Yang mengejar karena lapar?
Atau yang lari karena dikejar?
Tapi semesta tidak memberi karena layak,
ia memberi karena perlu.
Aku diam. Menimbang.
Hidup ternyata bukan ajang penghakiman Tuhan,
melainkan panggung peran yang terus berpindah.
Hari ini aku si kuat, besok aku yang lemah.
Hari ini aku bertanya, besok aku jawab.
"Apa kau bersyukur karena dikabulkan,
atau karena tidak ditinggalkan?"
Tuhan tidak sedang bermain dadu.
Ia tidak mengundi nasib dengan mata tertutup.
Setiap kejadian adalah nada dalam simfoni yang lebih luas dari logika kita.
"Sakit ini... bagian dari musik?"
tanyaku pada malam.
Cheetah mungkin gagal hari ini, tapi ia masih hidup.
Kancil mungkin selamat hari ini, tapi esok bisa berbeda.
Mungkin keduanya dikabulkan, hanya dalam bahasa yang belum bisa aku pahami sekarang.
"Jadi yang dikabulkan itu… harus selalu tampak enak?"
Kadang diri sendiri sulit jujur.
Sesaat abadi lalu aku sadar,
Doa bukan permohonan yang dikirim ke langit,
tapi kehadiran yang memanggil pulang diri sendiri.
"Sudahkah kau hadir dalam doamu?"
tanya bayanganku sendiri.
Bukan siapa yang lebih keras menangis,
atau siapa yang paling rajin memohon,
tapi siapa yang memahami bahwa Tuhan
tidak sedang membela siapa-siapa,
melainkan sedang mengajarkan:
peran, kesadaran, dan keikhlasan.
"Aku ingin menjadi bagian dari keseimbangan,"
bisikku pelan.
Karena rasa lapar dan rasa takut pun,
adalah dua sisi dari pesan yang sama:
Kita masih hidup.
"Dan jika hidup adalah panggung,"
aku siap belajar untuk tidak selalu jadi tokoh utama."
Lalu, jika kamu yang ditanya
Doa siapa yang seharusnya dikabulkan?
"Doaku... atau doamu?"
Mungkin jawabannya bukan pada kita,
tapi pada cara kita menjalani.
Kehidupan tidak pernah sesederhana menang atau kalah, selamat atau terkapar. Ia adalah tarian panjang antara takdir dan kebebasan, antara kehendak dan kerelaan. Cheetah dan kancil bukan sekadar dua tokoh dalam fabel semesta, tapi dua wajah dari jiwa kita sendiri, yang bergantian menjadi pengejar dan yang dikejar.
Kadang kita merasa pantas, lalu kecewa saat tidak diberi. Kadang kita merasa kecil, lalu heran saat selamat. Tapi Tuhan tidak membalas logika dengan logika. Ia membalas jiwa dengan jiwa.
Kita tidak sedang diuji untuk tahu hasilnya,
kita sedang diajak pulang pada hakikatnya.
Doa bukan sekadar alat tukar.
hidup juga bukan di altar, apalagi pasar.
Ia adalah pelita dalam kabut batin.
Bukan tentang dikabulkan atau tidak,
tapi tentang seberapa dalam kita hadir di dalamnya.
Maka bila hari ini engkau merasa lapar,
atau besok engkau bersembunyi karena takut,
ketahuilah: keduanya adalah bentuk panggilan yang sama.
Panggilan untuk menyadari bahwa kita bukan pusat dari segalanya,
melainkan bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih bijak.
Yang berdoa dengan kesadaran,
tidak pernah merasa sia-sia.
Dan jika suatu hari engkau masih bertanya,
“Doa siapa yang seharusnya dikabulkan?”
Maka jawablah dengan hidupmu.
Dengan cara engkau memahami peran.
Dengan cara engkau merangkul kenyataan.
Dan dengan cara engkau mencintai, meski tidak selalu dimengerti.
Karena pada akhirnya,
yang paling didengar oleh langit,
adalah hati yang tenang menerima jalannya.
Pomalaa, 20250420
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment