rumah jati wajah kusam

Pernah suatu kali aku bertemu sosok yang tidak terburu-buru menampakkan siapa dirinya.
Tak ada kalimat pembuka tentang asal-usul,
tak ada gelar atau pencapaian yang dijadikan pembungkus kehadiran.
Ia hanya hadir, dan itu sudah cukup.
Tak merasa perlu dikenali,
karena ia lebih sibuk menjadi, daripada dikenal sebagai.
Keagungan kadang datang dalam senyap,
bukan dari apa yang disebut, tapi dari cara ia hadir.

Ia tak memulai dengan cerita,
tak ada riwayat yang digantungkan di dinding kata.
Namun dari caranya memperlakukan manusia,
dari cara ia memilih diam,
aku paham: ia menyimpan sejarah panjang yang tak semua mata mampu membacanya.

Orang-orang seperti ini tak menjelaskan siapa mereka,
karena mereka sudah menjadi jawaban bagi pertanyaan yang tak terucap.

Barangkali ia tak pernah duduk di ruang kelas yang dipenuhi teori,
tapi hidup telah menjadi madrasah yang mendidiknya tanpa jeda.
Ujian datang tanpa aba-aba,
dan luka menjadi silabusnya.
Ia dilatih oleh malam-malam panjang yang tak berisi apa pun
selain sunyi, doa, dan keyakinan yang terus diuji.

Kadang, pengetahuan terdalam tak lahir dari buku,
tapi dari remuk hati yang memilih berdiri kembali.

Ia tak banyak didengar orang,
tak punya sorotan lampu atau pengikut dalam jumlah besar.
Tapi dari ucapannya yang jernih,
dari ketikan-ketikan kecil yang terasa seperti pelukan bagi jiwa,
aku tahu: ia bukan sembarang jiwa.

Kebermaknaan tak selalu butuh panggung,
ada cahaya yang cukup dengan bersinar diam-diam.

Bukan kekuasaan, bukan jumlah pengikut, bukan jabatan yang menempatkannya tinggi.
Tapi keteguhan dalam bertutur,
kesopanan dalam berdiam,
dan kebijaksanaan yang muncul dari kesunyian yang panjang.

Mereka yang paling hening seringkali telah melalui badai paling dalam.
Dan mereka memilih damai, bukan karena lemah, tapi karena telah selesai dengan dirinya.

Ia tak mencela, meski mampu.
Ia tak menyindir, meski tahu celah.
Ia memilih mengangkat, bukan merendahkan.
Dan dalam diamnya itu,
ada suara yang paling nyaring:
yaitu suara kematangan.
Dan aku pun bertanya pada bayangan diriku sendiri:
Apakah aku sedang berisik agar terlihat hidup,
atau justru melatih hening agar semakin dalam?

Apakah aku sibuk menjelaskan diri,
karena takut dilupakan,
atau karena belum cukup mengenal siapa aku sebenarnya?

Sebab kadang, yang tak terlihat itu justru yang paling nyata.
Dan yang tidak bicara,
adalah yang paling mengerti kapan kata harus hadir, dan kapan cukup hati yang bicara.

Pomalaa, 20250415
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts