INTROVERT

Di balik keramaian dunia yang gemerlap, bersemayam jiwa-jiwa yang memilih sunyi sebagai rumahnya. Mereka bukan pengecut suara, bukan pula pengemban angkuh yang menjauh, melainkan perenung yang mendengar gema semesta dalam diamnya sendiri.

Mereka berjalan tak berjejak, menapaki pelataran batin yang lebih sering tak tersentuh pandang. Kata-katanya bukan untuk dipamerkan, tapi untuk diselami seperti surat tua yang ditulis di balik kelopak mimpi, hanya bisa dibaca oleh hati yang tahu caranya diam.
Seringkali mereka disangka dingin, seolah tiada gairah di balik mata yang tenang. Padahal, dalam dada mereka, badai kasih berputar lirih tak mengguncang dunia, tapi cukup untuk menenggelamkan seluruh makna.

Mereka bukan enggan bersua, hanya dunia terlalu gaduh bagi jiwa yang hidup dari keheningan. Riuh dianggap racun, dan percakapan basa-basi hanyalah debu yang menutupi makna sejati. Mereka berbicara bukan untuk didengar, tetapi untuk menyampaikan sesuatu yang lahir dari kedalaman, bukan dari desakan waktu.

Salah sangka pun datang tanpa diminta, dicap tinggi hati karena tak cepat menyapa, disebut jauh karena tak ikut menari dalam obrolan ringan. Padahal mereka hadir, sepenuhnya, hanya saja dengan cara yang tak bisa dilihat oleh mata yang terburu-buru.

Mereka lebih memilih mendengar, menampung luka-luka orang lain dalam batin yang lapang. Menyerap kisah dan merangkainya menjadi simpul-simpul pengertian, meski mulutnya tak berkata. Ia tidak diam karena tak peduli, justru diamnya adalah bentuk kasih paling setia juga nyata.

Tak jarang pula emosi mereka tersembunyi di balik lapisan tenang. Kegembiraan ditunjukkan dengan senyum tipis yang tulus, bukan sorak. Kepedihan disimpan seperti rahasia purba yang hanya dibagi pada senja atau hujan.

Dan karena semua itu, dunia menempatkan label yang tak adil pada mereka, menyebutnya asing, tak hangat, bahkan tak bersahabat. Alih-alih mencairkan, dunia malah merias wajah mereka dengan riasan horor ketakutan yang akan semakin membuatnya semakin diam dan jauh.

Padahal, mereka hanya menunggu waktu. Menanti seseorang yang tak takut tenggelam dalam sunyi. Yang tak memaksakan suara, tapi mau mendengar napasnya yang lirih. Yang tak mengukur hangat dari keramaian, tapi dari ketulusan yang tak ditunjukkan secara mencolok. Bahkan bila itu hanya terjadi dengan segelintir pasang mata.

Jika kau bersedia mendekat tanpa mengusik, duduk bersamanya tanpa menuntut tawa, maka engkau akan mendengar hal-hal yang tak bisa diucapkan, kisah-kisah yang berbisik lewat getar udara, lewat sorot mata yang menyimpan dunia. Dan cintanya yang langka, kasihnya yang nyata dan begitulah dia yang tak kau pahami.

Diamnya lebih hangat dari pelukan yang diumbar.
Tanpa sepatah kata, jiwanya berteriak paling peduli.
Menjauh bukan lari, tapi bentuk tertinggi dari menjaga.
Semakin tak terlihat, semakin dalam ia mencintai.
Senyum samar yang menyembuhkan lebih dari tawa lantang.
Langkahnya sendiri, namun hatinya ramai oleh yang tulus.
Tak lekas hadir, tapi sulit tergantikan saat sudah menetap.
Cintanya pelan, tapi degupnya paling setia.
Tenang di luar, namun pikirannya sibuk menyalakan dunia.
Tak memanggil, tapi menjadi rumah bagi doa-doa yang tersesat.
Tak banyak ia beri, namun banyak yang ia lindungi dalam diam.
Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi nyala yang tak pernah padam.
Tak menyapa lebih dulu, tapi hafal harimu tanpa kau beri tahu.
Tak ramai, tapi kehadirannya meredakan ruangan.
Tak berdiri di tengah, tapi jadi pusat yang tak tergantikan.
Tapi pada akhirnya, 
dia pun benar-benar mengerti, bahwa dunia akan terus memandangnya sebagai wajah asing yang angkuh, dingin, dan tak ramah. Bahkan mereka yang sempat ingin mendekat, sering kali memilih menjauh sebelum sempat mengenal. Kadang pulang sebelum pergi atau berhenti sebelum memulai. Dan untuk semua itu, ia tak lagi melawan. Ia menerima sepenuhnya, bahwa tidak semua mata mampu melihat kedalaman yang tersembunyi dalam diam.

Pomalaa, 20250422
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts