rakus, memuja kekosongan
Doujung nafsu, selalu ada sunyi dan kekosongan.
Ada semacam lorong panjang dalam batin manusia, sebuah jalan yang tak berujung, dibentangkan dari rasa ingin ke rasa haus yang tak pernah selesai. Kita menyebutnya keinginan. Tapi ia bukan hanya perkara benda. Ia menelusup ke dalam pengalaman, kekuasaan, perhatian. Ia menyamar jadi ambisi, berkilau seperti mimpi, padahal ia adalah ilusi yang memantulkan wajah serigala dalam kaca bening.
"Kita tidak jatuh karena kekurangan,
tapi karena lupa pada rasa cukup."
Di antara diam dan gemuruh dunia, ada garis yang nyaris tak terlihat: garis antara kebutuhan dan keinginan. Seperti embun di ujung daun, ia ada, tapi mudah sekali luput. Budaya kuno pernah mengajarkan: hidup harus seimbang. Tapi siapa yang mendengar nasihat itu dalam zaman di mana suara paling keras lebih sering dianggap benar?
Keserakahan bukan lagi rakus pada harta.
Kita kini tamak akan validasi. Ketagihan tepuk tangan, candu pada pengakuan, mabuk oleh kesan diri yang dibentuk lewat sorotan semu. Kita menenggak semua itu seperti air laut, semakin diminum, semakin haus. Semakin kau jelajahi semakin luas tak bertepi.
"Tak semua yang mengisi tangan, mengisi jiwa."
“Tapi aku hanya ingin merasa berarti…”
bisik batin yang gemetar.
“Apakah salah jika aku ingin dilihat? Didengar? Diterima?”
Suara itu tidak jahat. Ia seperti anak kecil yang terluka,
mengemis pelukan di tengah badai ego yang membatu.
Kau peluk dunia hingga remuk,
tapi dirimu tetap hampa.
Kau sembah diri yang haus makna,
dan lupa caranya menjadi manusia.
Kita mengumpulkan segalanya,
Lalu bertanya dalam sunyi:
"Kenapa aku masih kosong?"
"Apakah ini yang kusebut hidup?", tanyaku pada bayangan di cermin.
"Mengapa segala yang kumiliki justru menambah beban?
Mengapa bahagia selalu tertunda pada hal yang belum kumiliki?"
Aku menatap wajah orang-orang di keramaian. Mereka tertawa, menggenggam gawai, mengejar sesuatu yang tampaknya penting. Tapi matanya kosong. Seperti pejalan tanpa peta, yang tersesat karena lupa arah pulang. Padahal rumah itu selalu ada: di dalam dada, tempat damai tak bisa dibeli.
Ada saatnya kita berhenti bertanya:
"Apa lagi yang bisa aku miliki?"
Dan mulai mengganti tanya itu menjadi:
"Apa yang benar-benar aku butuhkan?"
"Bukan kemiskinan yang menyesakkan,
tapi kerakusan yang tak mengenal batas."
“Lalu kapan aku bisa diam… dan merasa cukup?”
tanya kecil dari relung hati,
masih lembut tapi mulai tegas.
“Aku lelah menjadi budak dari rasa tak puas.
Aku ingin bebas—bukan dari dunia,
tapi dari diriku yang terlalu banyak meminta.”
Tuhan, terima kasih sudah,
beri aku luka yang menyembuhkan,
bukan harta yang menyesatkan.
Beri aku sunyi yang jujur,
bukan riuh yang mematikan.
Aku bukan guru, bukan nabi. Hanya pejalan yang pernah jatuh terlalu dalam dalam lubang bernama hasrat. Dan aku kembali, bukan membawa jawaban,
tapi membawa satu kata: cukup.
Karena di tengah dunia yang terus berlari,
Barangkali, satu-satunya bentuk perlawanan sejati adalah berhenti,
menarik napas, dan berkata dengan mantap:
"Hari ini, aku tidak ingin lebih."
Yogyakarta, 20250407
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment