gelap cahaya, lelap membaca

Aku tidak berlari ke ruang kosong.
Aku datang ke ruang jeda, antara intuisi dan logika,
lorong sunyi yang bahkan semesta belum berani jamah.

Ku buka pintu tanpa bunyi,
mengintai celah sebelum ia menjadi celah.
Ku mainkan kemungkinan seperti doa seorang hamba,
yang belum sempat menjadi manusia.

Masihkah kau ingin men-teorikan hati?
Jika aku telah memiliki,
tanpa satu pun rumusan science.
Aku tidak berlari ke ruang kosong.
Aku tidak sedang melarikan diri. Ke mana mungkin aku lari, jika yang kucari bukan pelarian, melainkan perjumpaan? Ruang yang kutuju bukan kehampaan, tapi kekosongan yang penuh potensi. Bukan ruang yang tak terisi, melainkan ruang yang belum diberi nama. Di sanalah semua kemungkinan bersujud, menanti untuk dihidupkan.

Aku datang ke ruang jeda—antara intuisi dan logika,
Di antara dua poros besar: nalar yang keras dan intuisi yang lembut, aku memilih diam. Tempat di mana pikiran belum menghakimi dan firasat belum terburu bicara. Di ruang jeda itulah kebenaran belum dikotak-kotakkan. Ia masih liar. Masih suci.

Lorong sunyi yang bahkan semesta belum berani jamah.
Aku berjalan ke tempat yang tak terjamah hukum alam, karena di sana belum ada waktu, belum ada bentuk. Hening total. Bahkan semesta yang megah pun gentar menjejak ke sana. Sebab di lorong itu, segala sesuatu hanya mungkin jika kita ikhlas tidak menjadi apa-apa.

Ku buka pintu tanpa bunyi,
Dalam dunia batin, tidak semua pintu harus diketuk. Beberapa cukup dibuka dengan kesadaran yang tak bersuara. Tidak dengan kekuatan, tapi dengan keheningan. Sunyi adalah kunci.

Mengintai celah sebelum ia menjadi celah.
Aku belajar melihat yang belum terlihat, membaca isyarat yang belum menjadi bahasa. Dalam filsafat, ini adalah cara melihat dunia dalam proses menjadi (becoming), bukan hanya yang telah ada. Aku mengintai bukan untuk menguasai, tapi untuk memahami—sebelum realitas terlanjur terkunci dalam bentuk.

Ku mainkan kemungkinan seperti doa seorang hamba,
Ini bukan permainan dalam makna duniawi. Kemungkinan adalah ladang tempat aku bersujud. Setiap keputusan bukan hanya logika, tapi juga doa. Segalanya mungkin, tapi tidak semua suci. Maka aku menyentuh kemungkinan seperti seorang hamba menyentuh kesucian: penuh gentar, tapi penuh harap.

Yang belum sempat menjadi manusia.
Aku belum sepenuhnya menjadi. Aku masih dalam proses penciptaan—bukan oleh dunia, tapi oleh kesadaranku sendiri. Kemanusiaan bukan status, tapi perjalanan. Aku adalah potensi yang masih dirajut antara langit dan tanah.

Masihkah kau ingin men-teorikan hati?
Hati bukan rumus. Ia bukan objek studi yang bisa diukur dengan grafik atau kurva. Ia terlalu luas untuk metode, terlalu dalam untuk statistik. Saat kau mencoba memformulasikan cinta, harapan, atau luka—kau kehilangan maknanya. Karena hati adalah wilayah yang hanya bisa dipahami dengan kehadiran.

Jika aku telah memiliki,
Tanpa satu pun rumusan science.
Apa gunanya bukti ilmiah, jika aku telah merasakan kebenaran lewat keberadaan? Ada kepemilikan yang tak membutuhkan akta. Ada pemahaman yang tak butuh teori. Dan mungkin, itu yang paling murni: saat kita tahu, tapi tak bisa menjelaskannya. Saat kita memiliki, tanpa perlu mencengkeram.

Comments

Popular Posts