anak tanggaku bersamamu, lelaki pembohong terbaikku

Dulu, dunia kami begitu dekat. Hanya dipisahkan satu anak tangga kecil, dan rasanya seolah aku tinggal melangkah sedikit saja untuk bisa duduk di sampingnya, menyaksikan cara dia memandang hidup yang tak pernah sekalipun tampak ragu. Dia menyambut pagi seperti menyambut kabar penting—membaca setiap halaman kehidupan dengan tenang, dengan kesadaran penuh, seolah tak ada satu pun yang boleh terlewat. Kopinya hangat, pandangannya lurus, dan pikirannya selalu berada satu langkah di depan. Aku sering tak mengerti caranya memahami dunia, tapi aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya memiliki keteguhan hati seperti itu.

langkahku satu di bawah,
tatapku naik,
tapi tak pernah sampai.
kabar pagi tak pernah terlambat,
hanya aku yang tertinggal waktu.

Setiap hari dia seperti itu. Membaca kehidupan, tapi tidak pernah larut. Seolah ada jarak yang ia ciptakan sendiri antara dirinya dan rasa, agar tak mudah goyah oleh apa pun yang datang. Aku duduk diam di sampingnya, mencoba mencuri ketenangan yang memancar dari tubuhnya. Dia tidak pernah berkata banyak, tapi dalam diamnya, ada pelajaran yang bahkan tidak bisa kutemukan dalam buku mana pun. Bahwa menjadi kuat tidak selalu berarti menjadi keras. Kadang, cukup dengan tidak lari.

dingin,
tajam seperti kertas dilipat cepat.
dunia adalah halaman yang dibaca tanpa suara,
dan aku hanyalah jeda kecil
di antara berita besar.

Sekarang, aku mencoba untuk tidak menangis. Bukan karena aku tidak ingin, tapi karena aku tahu, dia tidak lagi bisa menyentuh pipiku dan menghapus air mata seperti dulu. Kupikir, kalau dia melihatku menangis, dia akan lebih sedih dari aku yang ditinggalkan. Jadi aku menahan semuanya, mengurung duka dalam dada, dan menyimpannya seperti rahasia yang hanya aku dan langit yang tahu.

jangan tangisi aku,
katanya dalam angin.
sebab air matamu kini,
tidak bisa lagi kuhapus.
jadi diamlah. tajam. tahan.

Sebagai gantinya, aku terus hidup. Terus melangkah, perlahan tapi pasti. Aku ingin dia tahu bahwa kepergiannya tidak membuatku runtuh. Aku ingin dia percaya bahwa aku bisa. Bahwa meski aku sendirian, aku tidak sepenuhnya hilang arah. Kadang aku gagal, kadang aku jatuh, tapi selalu ada alasan untuk bangkit. Karena aku tahu, dia masih memperhatikan dari tempat yang tak bisa kusentuh tapi bisa kurasa.

aku bukan reruntuhan.
aku batu yang dia tinggalkan,
untuk menahan deras.
bisu, tapi tak patah.

Dulu, keberanian hanya kutemukan di sorot matanya. Ketegasan, kekuatan, dan keyakinan yang tak goyah. Tapi sekarang, perlahan-lahan, aku melihat semua itu dalam diriku. Dalam caraku bicara, dalam caraku melindungi yang kucinta, dalam caraku menghadapi ketakutan. Ternyata, dia tidak benar-benar pergi. Dia hanya berpindah tempat, dari dunia yang satu ke dunia yang lain—dan sebagian dirinya tinggal di dalam aku.

warisan tak selalu harta,
kadang nyala dalam dada.
dingin tak membeku,
justru membentuk baja.

Dan pada hari dia pergi, semesta memberiku sesuatu. Bukan pengganti, bukan penawar, tapi semacam cahaya yang anehnya justru datang dari gelap. Hari itu aku tahu, aku bukan lagi versi lama dari diriku. Aku dilahirkan ulang. Bukan sebagai anak kecil yang menangis kehilangan, tapi sebagai seseorang yang siap melanjutkan. Dengan bekas luka yang kupeluk erat, dan nama Bapak yang kini berdiam di dadaku, bukan hanya di ingatan.

hari kepergianmu,
adalah hari aku dilahirkan ulang.
bukan bayi,
tapi senyap.
dingin.
dan tahu arah langkahnya.

Terima kasih...
adalah kata yang terlalu kecil untuk menampung semua rasa ini.
Dan maaf...
tak cukup luas untuk menebus semua yang tak sempat kusampaikan saat kau masih di sini.

Bapak,
aku tumbuh dalam bayanganmu yang dingin—tegas, jauh, dan nyaris tak tersentuh.
Separuh hidupku kuhabiskan menebak perasaanmu,
membaca bahasa tubuhmu yang tak pernah benar-benar terbuka.
Tapi kini aku tahu, semua dingin itu adalah bentuk lain dari cinta yang tidak ingin rapuh.
Semua diam itu adalah penjaga,
semua acuh itu adalah perlindungan yang tidak ingin membuatku lemah.

Baru setelah kepergianmu,
kesadaran itu menamparku seperti angin yang tak bisa kulawan.
Bahwa aku bukan hanya anakmu.
Aku adalah darahmu.
Aku adalah daging dari seluruh usahamu untuk tetap tegak meski dunia runtuh.

Dan untuk itu...
rasa terima kasihku membengkak,
membuat kata-kata tersangkut di tenggorokan,
tak bisa keluar karena terlalu besar,
terlalu suci,
dan terlalu dalam.

Terima kasih karena telah membentukku,
dengan cara yang hanya kau tahu,
dan kini baru bisa benar-benar kupahami.

Yogyakarta, 20250412
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts