Azazil: Sujud yang tertunda dan Peran yang Terlupa

Malam itu dingin dan sunyi.
Langit hitam tak bersuara, seperti Tuhan sedang enggan bicara.
Aku terjaga, entah karena mimpi atau bisikan yang tak bisa dijelaskan.
Dari kegelapan, sosok bercahaya namun menyakitkan muncul.
Bukan cahaya yang menenangkan, tapi nyala panas, marak seperti bara yang enggan padam.

"Siapa kau?" tanyaku.

"Aku Azazil," jawabnya, datar namun dalam.
"Yang dulu suci, tapi kini kau kenal sebagai Iblis."

Aku menelan takut yang menyesak.

"Kenapa kau diusir dari surga?"

Ia menatapku tajam.
"Kau pikir aku diusir hanya karena menolak sujud kepada Adam? ‘Hanya’? Kau menyebut itu hanya?"

Ia tertawa pelan, getir seperti angin yang membawa kutuk.

"Aku diciptakan dari api. Adam dari tanah. Aku lebih dulu ada. Lebih kuat. Lebih tahu. Tapi tiba-tiba aku diperintahkan untuk sujud kepadanya. Dan aku menolak."

"Karena sombong?"

"Tidak. Karena aku setia."
"Aku tidak menolak Tuhan. Aku menolak bersujud kepada selain Dia. Aku hanya mau bersujud kepada-Nya. Bahkan jika itu Adam, aku tak bisa. Aku dicipta untuk-Nya. Cinta mutlak, bukan setengah-setengah."

Ia menarik napas, jika makhluk sepertinya masih mengenal napas.

"Tapi Tuhan memerintahkannya..." bisikku.

"Itulah tragedinya," jawabnya.
"Ketaatan yang diuji dengan paradoks. Sujud kepada ciptaan demi ketaatan kepada Pencipta. Maka aku pun ragu: apakah tunduk itu bentuk cinta, atau bentuk hilangnya nurani?"

Aku tak bisa menjawab.
Kata-katanya membelit pikiranku.

"Lalu sekarang aku bertanya padamu, manusia," lanjutnya, mata membara,
"Jika kau diperintahkan untuk bersujud kepada sesuatu selain Tuhanmu, apakah kau akan melakukannya?"

Aku terdiam. Ragu.
Tapi dia tersenyum tipis.

"Lihat? Kau pun bimbang. Tapi kau punya pilihan. Aku tidak. Aku diuji tanpa tanda. Aku jatuh bukan karena aku membenci, tapi karena aku terlalu mencintai... dengan caraku sendiri."

Aku mencoba memahami.
Tapi sesuatu tentangnya tak bisa sepenuhnya kuterima.

"Tapi bukankah kau merasa lebih baik dari Adam?"

"Atau mungkin... aku merasa terlalu kecil untuk tunduk pada sesama makhluk. Aku hanya ingin bersujud kepada Yang Maha Tinggi. Tapi Tuhan ingin aku belajar rendah hati, dan itu yang gagal kupahami. Itu... kehancuranku."

Angin malam berdesir seperti bisikan azab.

"Apakah kau menyesal?" tanyaku, pelan.

Azazil memejam. Dan untuk sesaat…
seperti ada air mata yang tak bisa jatuh dari mata yang terkutuk.

"Setiap malam aku menangis," ucapnya.
"Bukan karena neraka. Tapi karena aku kehilangan Dia. Aku kehilangan kehangatan kasih yang dulu memelukku. Dan yang lebih menyakitkan… cintaku tak dianggap sebagai cinta."

"Lalu kenapa kau menggoda kami, manusia?"

Ia menatapku, dalam.
"Karena aku tak tahan melihat kalian mendapatkan kasih yang telah hilang dariku. Aku ingin kalian gagal sepertiku. Bukan karena benci, tapi karena cemburu… pada harapan yang masih kalian punya."

Aku menunduk.
Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya… bukan kepada dia, tapi kepada diriku sendiri:

"Ataukah... semua ini hanyalah peran?"
"Kau menjadi penggoda, aku menjadi tergoda..."
"Agar aku belajar tentang dosa... tentang kerendahan... bahkan tentang ketiadaan diriku di hadapan-Nya?"

"Apakah kau jatuh... hanya agar aku bisa melihat bayangan kejatuhanku sendiri?"

Azazil diam. Lama.
Lalu ia berkata pelan, nyaris seperti bisikan:

"Mungkin begitu..."

"Atau mungkin... aku jatuh bukan untukmu. Tapi agar kau tahu, bahwa bahkan makhluk yang paling suci pun bisa keliru… jika terlalu yakin akan dirinya sendiri."

Ia tersenyum tipis.

"Kau menyebutku iblis. Tapi siapa tahu, dalam skenario yang lebih besar... aku hanya peran kecil untuk menyempurnakan pertanyaanmu tentang cinta, kehendak, dan kehilangan."

Lalu ia lenyap,
meninggalkan aku sendiri, 
bersama prasangkaku sendiri 
tentang Tuhan, tentang pilihan…
dan tentang aku. 
Aku yang tak pernah punya nama..

Pomalaa, 20250422
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts