Aku, Jibril dan Semesta di Beiji Antaboga
Tentang Hutan yang Menyimpan Hati Umat Manusia
Pada zaman yang tak terukur oleh jam dan kalender, ketika embun masih menjadi pesan pagi dari langit, dan dedaunan bicara lewat bisik angin, berdirilah sebuah hutan di kaki Gunung Raung. Di sanalah kisah ini bermula, bukan tentang satu bangsa, tapi tentang semua manusia yang mencari terang dalam gelap, dan kedamaian dalam riuh dunia.
Hutan itu dahulu disebut Hutan Sunyi. Bukan karena tak ada suara, tapi karena manusia lupa mendengar. Mereka datang dari berbagai penjuru, membawa nama Tuhan yang berbeda, namun lupa bahwa tujuan mereka sama: pulang ke dalam dirinya sendiri.
Suatu hari, datanglah seorang penapak sunyi, seorang bijak yang tak dikenal namanya, hanya disebut oleh angin sebagai Sang Penyatupikir. Ia datang tidak membawa senjata, hanya sebatang tongkat dan secarik harapan: bahwa manusia bisa duduk bersisian meski berbeda doa.
Di sebuah mata air yang jernih dan belum terjamah, ia duduk, bertapa, dan memanggil cahaya dari dalam bumi. Maka muncullah seekor naga bermahkota emas, tubuhnya bersisik cahaya dan matanya teduh seperti samudera tak bertepi. Naga itu bernama Antaboga, penjaga bawah dunia, penenang amarah, pemelihara akar dari segala kehidupan.
Antaboga berkata,
"Jika manusia ingin damai, maka bangunlah rumah bagi semua nama-Ku. Bangunlah di sini, di antara pohon yang tak membedakan burung mana yang bersarang di rantingnya."
Maka, Sang Penyatupikir mulai membangun, tidak sendiri, tapi bersama mereka yang mulai percaya. Datang pemeluk agama Hindu, lalu umat Buddha menyusul. Tak lama berselang, hadir pula suara azan yang lembut menyapa pagi, lonceng gereja mengiringi senja, dan suara kidung serta bacaan suci dari berbagai kitab menggema berdampingan, tak saling menenggelamkan, justru menyatu menjadi satu irama: irama manusia yang rindu pada ketenangan.
Mereka menyebut tempat itu Beji Antaboga, Beji berarti tempat suci, dan Antaboga adalah lambang kesabaran yang menjaga fondasi dunia. Di sana, tak ada pagar antara tempat ibadah. Hanya jalur tanah yang dilapisi dedaun gugur dan dipayungi cahaya matahari yang membelah kabut.
Waktu berlalu. Orang-orang datang, bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menyembuhkan. Beji itu menjadi taman jiwa, tempat anak-anak belajar bahwa perbedaan bukanlah luka, melainkan warna; tempat orang tua bersujud tanpa takut dibedakan; dan tempat para pengelana berhenti sejenak untuk bertanya: "Apa yang sebenarnya kucari dalam hidup ini?"
Kini, hutan itu tak lagi sunyi. Ia bicara dalam keheningan, mengajarkan manusia bahwa sesungguhnya, rumah Tuhan tidak pernah tunggal, sebab Ia bersemayam dalam hati setiap manusia yang tulus mencari-Nya.
Dan Antaboga? Ia masih ada, tak tampak di mata, tapi terasa oleh jiwa. Ia menjaga mereka yang datang bukan untuk menang, melainkan untuk menyatu. Sebab hidup ini bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling mampu mengasihi.
Tentang Manusia yang Lupa Jalan Pulang
Di suatu waktu yang tak lama namun tak dekat, datanglah seorang pengelana dari barat. Bajunya lusuh, matanya kosong, dan langkahnya berat seperti membawa ribuan beban tak kasat mata. Namanya adalah Raka, seorang manusia yang telah lama kehilangan dirinya di tengah kota yang terang namun tanpa cahaya sejati.
Raka pernah punya segalanya: nama besar, jabatan, pujian. Tapi makin tinggi ia naik, makin sunyi ia rasakan. Ia tertawa bersama banyak orang, tapi tak mengenal satu pun wajah. Ia menulis kata-kata indah, tapi hatinya kering seperti sumur mati. Sampai suatu malam, dalam mimpinya, ia melihat seekor naga emas membisikkan:
"Carilah aku di kaki Gunung Raung, di sana kau akan temukan suara hatimu kembali."
Dan begitulah ia tiba, terengah, membawa luka yang tak berdarah, namun menyiksa. Di Beji Antaboga, ia berjalan melewati jalan tanah yang mengarah ke enam rumah suci. Ia berhenti di tiap-tiapnya. Tak tahu doa mana yang harus ia ucapkan, ia hanya menutup mata dan duduk. Dan di situlah keajaiban mulai meresap.
Di pura, ia merasakan ketenangan yang lembut seperti air mengalir di celah batu.
Di vihara, ia mendengar diam yang berbicara lebih nyaring dari teriakan.
Di masjid, ia merasa jiwanya dipanggil untuk tunduk, bukan oleh aturan, tapi oleh cinta.
Di gereja dan kapel, ia menangis, bukan karena dosa, tapi karena rindu yang terjawab.
Di klenteng, ia menatap dupa dan berkata dalam hati, "Ternyata, semua jalan mengarah ke satu sumber."
Hari berganti, Raka tak ingin kembali ke dunia lama. Tapi Beji Antaboga bukan tempat untuk bersembunyi. Di malam terakhir sebelum ia pergi, naga Antaboga muncul kembali dalam mimpinya.
"Wahai manusia, rumah-Ku bukan hanya di tempat ini. Rumah-Ku ada di senyummu saat kau sabar, di pelukmu saat kau memaafkan, dan di langkahmu saat kau memilih cinta di atas ego. Pulanglah. Tapi bawa damai dari sini dalam napasmu."
Dan Raka pun kembali ke dunia, namun kali ini tidak sebagai orang yang ingin dimengerti, melainkan yang ingin mengerti. Ia menjadi lilin kecil di tengah dunia yang gelap, karena ia tahu, tak butuh api besar untuk menerangi jalan, cukup satu cahaya yang tak padam.
Tentang Anak Kecil yang Tak Bertanya, dan Perempuan Tua yang Tak Menjawab
Di suatu pagi yang diselimuti kabut putih seperti selendang para dewi, datanglah seorang anak kecil ke Beji Antaboga. Umurnya tak lebih dari delapan musim panen, rambutnya awut-awutan, kakinya telanjang, namun matanya terang, seperti mata yang belum disibukkan oleh dunia.
Namanya Lindu, dan ia datang bukan untuk mencari, tapi hanya untuk bermain. Ia tak membawa kitab, tak hafal doa, dan tak paham mengapa orang dewasa berdoa dengan suara yang berat. Ia hanya suka duduk di batu besar dekat mata air, melempar daun-daun kering, lalu tertawa saat air menari.
Orang-orang yang datang ke Beji Antaboga memandangnya dengan bingung. “Anak siapa ini? Mengapa ia tidak sopan di tempat suci?” Tapi Lindu tak peduli. Ia tidak berisik. Ia hanya hadir — utuh, polos, dan jujur. Ia menatap semua bangunan ibadah, bukan dengan rasa takjub, tapi dengan penerimaan yang tak perlu kata.
Di hari ketiga kedatangannya, Lindu bertemu dengan seorang perempuan tua. Rambutnya putih seperti kapas yang menua di ladang, tubuhnya bungkuk, dan langkahnya lambat, tapi wajahnya bersinar seperti fajar yang lembut. Ia disebut oleh orang-orang sebagai Ibu Dresti, penjaga Beji, bukan secara resmi, tapi secara jiwa.
Lindu bertanya, “Nenek, apa tempat ini rumah Tuhan?”
Ibu Dresti tersenyum. Ia tidak menjawab. Ia hanya duduk di sebelah Lindu, diam, membiarkan angin yang menjawab. Saat anak itu mulai melempar daun ke air, Ibu Dresti ikut, pelan. Dan mereka tertawa bersama, tanpa alasan yang bisa ditulis.
Hari-hari berikutnya, orang-orang mulai memperhatikan perubahan. Mereka yang tadinya datang dengan beban, mulai ikut duduk di batu dekat mata air. Mereka tak lagi terlalu sibuk memilih doa, tapi belajar hadir seperti Lindu. Ibu Dresti pun tak memberi ceramah, hanya hadir, seperti pelita yang tak berkata, tapi tetap menerangi.
Sampai suatu hari, Lindu tak datang lagi. Entah ke mana ia pergi. Orang-orang mencarinya, tapi ia seperti kabut pagi yang datang tanpa janji, lalu hilang tanpa pamit. Namun batu tempat ia duduk, masih ada. Dan mata airnya tetap jernih. Di sanalah, orang-orang mulai merasakan: mungkin Lindu bukan anak biasa. Mungkin ia adalah utusan Antaboga, hadir sebentar untuk mengingatkan: bahwa jiwa yang murni tak butuh banyak syarat untuk menyentuh Tuhan.
Dan Ibu Dresti? Ia masih di sana. Duduk setiap pagi, tanpa kata, menunggu jiwa-jiwa baru yang datang bukan untuk bertanya, tapi untuk belajar mendengar.
Tentang Pencuri yang Mencari Ampun, dan Pemimpin yang Mencari Diri
Di satu malam tanpa bintang, saat kabut turun lebih tebal dari biasanya, datanglah dua sosok dari arah yang berbeda, namun dipertemukan oleh takdir yang tak bisa ditebak manusia.
Yang pertama, seorang pencuri. Namanya Wisang, laki-laki dengan mata tajam tapi langkah hati-hati. Ia tak datang karena ingin bertobat. Ia datang karena mendengar kabar bahwa di Beji Antaboga, orang meninggalkan sepatu, dompet, dan keraguan mereka begitu saja di luar tempat ibadah. Ia melihat peluang, bukan pencerahan.
Yang kedua, seorang pemimpin. Namanya tak disebut. Ia datang diam-diam, tanpa pengawal, tanpa nama, hanya dengan pakaian sederhana dan wajah lelah yang disembunyikan. Di luar sana, ia disebut pemimpin besar. Tapi di dalam dirinya, ia adalah anak kecil yang hilang arah.
Malam itu, Wisang menyelinap di antara bayang-bayang. Ia mendekati bangunan ibadah, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia bawa pergi. Tapi setiap kali ia mengulurkan tangan, terdengar suara aneh, bukan suara orang, bukan hewan, tapi seperti desir daun yang mengucapkan kata-kata lembut.
"Apakah yang kau cari bisa menyelamatkan jiwamu?"
Wisang bingung. Ia berpikir ia hanya lelah. Tapi saat ia membuka dompet yang baru saja ia ambil dari bangku kayu, ia menemukan kertas kecil bertuliskan:
"Jika kau mencuri karena lapar, duduklah dan makan bersamaku."
Dan saat ia menoleh, duduklah sang pemimpin di samping mata air. Tanpa marah, tanpa cemas, hanya menatapnya dengan mata yang tak asing: mata seorang yang juga pernah jatuh.
“Kenapa kau tidak melaporkanku?” tanya Wisang.
Sang pemimpin menjawab, “Karena aku datang ke sini untuk menanggalkan topengku, bukan menilai topengmu. Duduklah. Kau tak perlu lari dari siapa pun malam ini.”
Lalu mereka duduk. Dua orang dari dua dunia yang berbeda, dipertemukan oleh satu luka yang sama: kehilangan arah. Di bawah sinar rembulan yang pelit, diiringi suara air yang tak pernah berhenti mengalir, mereka bicara. Bukan tentang dosa dan hukum, tapi tentang rasa sepi, tentang ibu yang ditinggal mati, tentang mimpi yang terbuang.
Dan di malam itu, tanpa saksi, tanpa upacara, Wisang menangis untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal. Pemimpin itu pun berdoa, bukan dengan suara, tapi dengan dada yang terbuka. Saat pagi datang, mereka tak saling pamit. Mereka hanya mengangguk, seolah berkata: "Kita bertemu bukan untuk saling menilai, tapi untuk saling pulang."
Tentangku: duiCOsta bicara soal Antaboga
Begitulah Beji Antaboga: bukan tempat untuk mereka yang suci, tapi untuk mereka yang ingin kembali. Ia bukan kuil emas, bukan istana megah. Ia adalah taman jiwa — di mana semua luka bisa duduk, semua keyakinan bisa berbicara, dan semua manusia bisa menjadi versi terbaik dari dirinya yang hilang.
Dan Antaboga, sang penjaga bawah tanah, masih ada di sana, tak bicara, tapi mengerti. Ia tahu, manusia tak butuh banyak keajaiban, hanya satu tempat di dunia yang tidak menolak mereka apa adanya.
jika kau tak kunjung menemukan kebaikan,
jadilah kebaikan itu sendiri.
pun jika belum bisa juga,
setidaknya kau bukanlah mimpi buruk.
Banyuwangi, 20250408
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment