musibah terhormat di cawan terakhir Socrates

Di pasar-pasar Athena yang ramai, di antara suara para pedagang dan langkah kaki warga kota, Socrates, seorang filsuf tua, berjalan tanpa henti. Ia tidak memiliki kekayaan, tidak pula ambisi duniawi. Senjatanya hanyalah pertanyaan, dan perisainya adalah akal. Namun, di mata para pemimpin kota, ia adalah ancaman. Socrates, dengan metode bertanyanya yang tajam, telah menggoyahkan kepercayaan yang dianggap suci, menantang keangkuhan mereka yang merasa tahu segalanya.

Ia dituduh, tidak hanya sebagai perusak moral pemuda, tetapi juga sebagai pengkhianat dewa-dewa Athena. "Socrates," ujar para penuduhnya di pengadilan, "kau mencemari pikiran generasi muda dengan gagasan yang menentang tradisi. Kau mengabaikan para dewa yang telah melindungi kota kita, dan kau memperkenalkan entitas ilahi yang baru."
Di hadapan dewan hakim dan rakyat Athena, Socrates berdiri dengan tenang. Ia tidak membela diri dengan kepura-puraan atau pengampunan. "Jika aku bersalah," katanya, "maka salahku adalah mengajarkan mereka untuk berpikir, bukan untuk menerima begitu saja. Apakah pencarian kebenaran adalah kejahatan? Jika demikian, aku tidak akan berhenti, meski harus membayar dengan hidupku."

Keberanian itu tidak melunakkan hati para hakim. Ia dijatuhi hukuman mati. Pilihan untuk meninggalkan Athena ditawarkan, namun ia menolaknya. "Bagaimana aku bisa melarikan diri dari hukum, sementara aku sendiri mengajarkan untuk mematuhinya? Jika aku menentang hukum demi hidupku, maka aku telah menghancurkan prinsip-prinsip yang aku junjung."

Pada hari yang telah ditentukan, Socrates duduk di ruang sempit penjara, dikelilingi murid-muridnya yang mencintainya lebih dari nyawa mereka sendiri. Crito, yang hatinya diliputi rasa takut dan putus asa, memohon, "Tuan, kita bisa menyelamatkanmu. Penjaga telah dibujuk, jalan pelarian telah terbuka. Hidupmu terlalu berharga untuk berakhir di sini."

Namun Socrates, dengan tatapan penuh kelembutan, menjawab, "Crito, aku lebih takut melukai kebenaran daripada kematian. Jika aku melarikan diri, aku menghancurkan hukum. Apakah aku harus merusak keadilan demi melestarikan tubuh yang fana ini?"

Dengan cawan berisi racun hemlock di tangannya, ia menatap mereka dengan senyum kecil. "Jangan menangis untukku. Aku tidak mati. Hanya tubuhku yang akan tiada, namun pemikiran dan kebenaran yang kita perjuangkan akan tetap hidup."
Socrates meminum racun itu dengan tenang, tidak tergesa, seolah ia tengah meneguk anggur pada jamuan para dewa. Rasa dingin menjalar perlahan dari kakinya, sementara ia terus berbicara tentang keabadian jiwa hingga suaranya semakin lemah. "Kematian hanyalah gerbang, sahabat-sahabatku. Ia bukan akhir, melainkan awal dari kebijaksanaan yang sejati."

Saat tubuhnya akhirnya menyerah pada racun itu, para murid menangis, tetapi dalam hati mereka tertanam sebuah warisan yang abadi. Socrates telah pergi, tetapi ia tidak pernah benar-benar mati. Di hati mereka, dan di sepanjang sejarah pemikiran manusia, ia tetap hidup—seorang martir bagi kebenaran dan akal budi.

Yogyakarta, 20241015
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts