terbang di kedalaman puncak yang terjun
Pada masa itu,
masa kecil itu..
wajahmu ditatah mentari,
tapi siang tak selalu ramah pada bocah.
Tertawa di tanah lapang,
namun diam-diam semesta mencibir di balik semak.
Tubuh kecilmu yang tulus
dijatuhkan caci, ditampar cela,
dan langit tak memberi jawaban atas tangisan
yang merambat di bantal lusuh.
Namun engkau berdiri.
Dengan buku yang koyak, pena bersisa tinta,
dan mimpi yang mustahil dikoyak oleh waktu.
Juara demi juara kau raih,
bukan karena jalanmu diringankan,
tapi karena keteguhanmu menjadikan segala kekurangan
sebagai alat pemahat kecemerlangan.
Kau tumbuh, bukan dibesarkan,
tapi menumbuhkan dirimu sendiri
di tanah kering bernama ketidak-mungkinan.
Lalu tiba suatu musim,
dimana tanya tumbuh lebih cepat dari usia.
Tiba-tiba langkahmu tak lagi mengejar dunia,
melainkan mencari cermin yang bisa menampakkan,
siapa Aku
sebelum nama disematkan.
Engkau mulai mendengar gema
yang tak datang dari luar,
melainkan dari dalam,
suara halus yang bertanya,
“Dari mana engkau dicipta?
Untuk apa napas ini diberi?
Dan ke mana kelak engkau ditarik pulang?”
Malam menjadi ladang luka dan cahaya.
Kadang engkau menangis dengan lidah basah oleh zikir,
kadang tertawa karena menemukan percikan makna
di sela kegilaan logika dan sunyi jiwa.
Di jalan panjang itu,
engkau tak selalu kuat.
Namun engkau konsisten dalam pencarian.
Bangkit, jatuh, murung,tenang, dan bangkit lagi.
Dimana jeda dari setiap kata itu
semuanya hanya homa dan kata dan...
Hingga rumah kau bangun,
nama kau bagi,
dan warisan batin kau semai,
dalam sunyi yang tak disadari orang-orang.
Tapi kini, badai datang.
Bukan satu. Bukan dua.
Melainkan silih berganti,
berputar seperti pusaran takdir
yang tak memberi celah bagi napas sekadar menghela.
Engkau luluh.
Lebih dari jatuh.
Dirimu berantakan seperti bait puisi
yang tercabik sebelum sempat dimaknai.
Tak tahu lagi!
apakah ini ujian,
atau hanya kehampaan yang dibiarkan tumbuh.
Dan di tengah pusaran itu,
kau berjalan,
atau mungkin terseret,
seperti Majnun yang terlalu paham makna,
hingga gila oleh ketidak-teraturan semesta.
Dulu, setiap luka kau tafsir sebagai pesan.
Setiap retak di dinding hidup
adalah panggilan halus dari langit.
Dan engkau selalu pulang.
Dengan tangis sebagai surat,
dan doa sebagai perangko jiwa.
Tuhan, katamu,
bukan tempat mengadu,
melainkan tujuan untuk kembali utuh.
Dan engkau memperbaiki sapa itu
dengan ketekunan seorang kekasih
yang tak ingin kehilangan tempat pulang.
Namun kali ini,
rasa malu menjelma jurang tak berdasar.
Tersesat, terlalu jauh.
Langkahmu terlalu banyak menuju seberang
hingga kau lupa arah pulang.
Kau tak tahu lagi
apakah Engkau masih pantas kembali.
Langit seperti menutup tirainya,
atau mungkin dirimulah yang menutupnya
dengan debu ketidak-layakan.
Kau ingin pulang,
tapi bagaimana,
jika bahkan peta batin telah rusak oleh ragu?
Ah, tapi bukankah Tuhan
tidak pernah butuh alamat,
untuk tahu di mana engkau berada?
Bukankah Ia adalah Dia
yang bahkan sebelum lidahmu berkata,
telah tahu segala genting yang mengguncang dadamu?
Maka, diamlah sejenak.
Tak perlu bicara.
Tangismu sudah cukup menjadi bahasa.
Karena bahkan dalam reruntuhan,
masih ada doa yang berdenyut.
Sebab yang paling Maha,
tak menunggu kesempurnaanmu untuk memelukmu pulang.
Ia cukup menunggu,
engkau bersedia mengakui,
“Aku lelah, dan aku ingin kembali.”
Pomalaa, 20250617
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment