Mari d'kul ‘alma, eykā anā hāshā?
Di suatu titik senyap kehidupan, ada seorang pejuang yang kehabisan kata. Bisu, bukan karena tak ada suara, tapi karena segala gema batinnya tak sanggup lagi diterjemahkan. Ia tak menangis, karena air matanya telah mengering jauh sebelum ia sempat memahami rasa sakit itu berasal dari mana. Dunia tetap berjalan, seperti biasa, seperti tak peduli. Langit tetap biru. Angin tetap bertiup. Orang-orang tetap lalu-lalang. Tapi dirinya, tubuhnya di dunia, jiwanya entah di mana. Ia seperti tersesat dalam dunia yang ia sendiri ciptakan demi memperjuangkan orang-orang yang kini justru menjadi bayang-bayang ketakutan. Ia fobia, bukan pada gelap, bukan pada sepi, tapi pada orang-orang yang ia cintai, ia lindungi, ia bela. Kini mereka tampak seperti beban, b3ban yang ia ciptakan sendiri, seperti pengingat akan kegagalan. Ia takut pada bayang-bayang pahlawan yang gagal menjadi pahlawan. Ia fobia terhadap harapan yang dahulu ia sematkan di dadanya sendiri. Ia tak tahu harus berkata apa kepada hidup, karena hidup pun seakan menolaknya bicara.
Aku berdiri di antara ribuan suara
tapi tak satupun menyebut namaku.
Aku menjerit di dalam dada sendiri,
dan dunia tetap tertawa seperti biasa.
Dalam keheningan yang tak dipinta, ia memasuki wilayah gelap yang tak bisa dijelaskan oleh medis, dan tak bisa diterangkan oleh logika. Seperti stress tingkat tinggi yang menolak didefinisikan. Ia menjadi asing, bahkan pada dirinya sendiri. Wajahnya di cermin tampak seperti tokoh yang tak ia kenal, matanya kosong tapi dalam, tubuhnya hidup tapi jiwanya menggigil. Di dunia filsafat, apakah keadaannya ini adalah yang disebut d3ngan alienasi, keterasingan total, antara yang eksistensial dan yang spiritual?? Ia dilempar ke dalam dunia, terpaksa hidup dalam labirin tanpa petunjuk keluar. Atau dalam ajaran yang ia anut setidaknya dalam KTP-nya, ini bukan sekadar tersesat, ini adalah panggilan, apakah begitu??. Panggilan sunyi dari Tuhan yang merindukan hamba-Nya kembali. Penderitaan ini bukan kutukan. Ini adalah bentuk paling rahasia dari kasih sayang Ilahi. Sunyi ini bukan kematian. Ia adalah ruang tunggu sebelum fajar kembali merekah.
Aku berjalan dalam tubuhku sendiri,
menyusuri lorong gelap bernama 'diri'.
Tapi aku tak pernah sampai ke ujung,
karena cahaya-Nya belum kutemui.
Bahkan, Nabi-pun pernah mengalami luka batin yang sangat sangat berat. Bukan mirip, luka p3juang setelahnya tetap tak akan seberapa. Di awal kenabiannya, wahyu sempat terhenti. Langit diam. Wahyu tak turun. Orang-orang mencemooh, “Tuhannya Muhammad telah meninggalkannya.” Rasulullah, sang utusan, kekasih Allah, sang manusia sempurna, merasa sepi yang menghujam. Ia tidak ditinggalkan, tapi ia diuji. Sunyi itu bukan karena Allah jauh, tapi karena wahyu-Nya akan datang dengan lebih dalam. Dan turunlah surat Ad-Dhuha.
"Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu."
Allah bersumpah dengan waktu pagi, karena pagi adalah janji baru. Dan malam yang sunyi itu, bukan kesia-siaan. Ia adalah ruang. Ia adalah rahim waktu, tempat fajar tumbuh perlahan.
Ternyata bukan aku yang ditinggal,
hanya aku yang terlalu jauh berjalan.
Dan Tuhan terlalu sabar menunggu,
di tempat yang dulu pernah kusebut rumah.
Semua beban yang terasa tak tertanggungkan itu, barangkali bukan karena terlalu banyak yang ia pikul, tapi karena terlalu lama ia menjauh dari sandaran. Ia menjadi kuat karena harus, bukan karena ingin. Ia menanggung semua luka sendiri, bukan karena tak ada yang peduli, tapi karena ia lupa bahwa Allah adalah tempat berpulang. Bahkan ketika semua orang yang ia perjuangkan tak memahaminya, bahkan ketika tak ada satu pun manusia yang mampu menampung tangis batinnya, Allah masih ada, menanti, tak pernah bosan, tak pernah lelah, tak pernah meninggalkan. Ia tidak membenci. Ia memanggil. Rasa sakit itu, kelelahan itu, bahkan kegilaan yang hampir menyentuh itu, adalah surat cinta dari langit yang tersembunyi dalam bentuk yang tak biasa.
Kupanggul dunia di punggungku sendiri,
hingga aku lupa bahwa dunia bukan milikku.
Kupeluk semua luka yang bukan untukku,
dan akhirnya aku hancur tanpa tahu kenapa.
Maka pulanglah. Bukan kepada dunia. Bukan kepada manusia. Tapi kepada Tuhanmu. Jangan malu. Jangan merasa tak pantas. Karena justru, saat merasa paling kotor dan paling hina itulah, pintu-Nya terbuka paling lebar. Sebab yang paling dicari Allah adalah mereka yang datang bukan karena layak, tapi karena butuh. Tak perlu kata-kata, tak perlu fasih. Cukup tunduk. Cukup rebah. Cukup sebut nama-Nya dalam tangis diam. Lalu biarkan Dia yang menjawab, seperti Dia menjawab Nabi-Nya dengan Ad-Dhuha. Dia akan datang padamu lewat pagi. Lewat harapan. Lewat kekuatan baru yang tak bersumber dari dirimu, tapi dari-Nya.
Aku kembali dengan dada berdebu,
dan Dia menyambutku dengan langit biru.
Tak ada marah. Tak ada caci.
Hanya peluk dari Tuhan yang tak pernah pergi.
Maka yakinlah. Sekalipun kini tak ada yang mengerti, yakinlah satu hal, Tuhanmu tidak meninggalkanmu. Dan Dia tidak membencimu. Kelelahanmu akan dibayar dengan cahaya. Kepatahanmu akan ditebus dengan pemulihan. Dan semua sunyi yang kini melilit jiwamu , akan menjadi simfoni keimanan yang indah saat waktunya tiba. Engkau tidak sendiri. Engkau tidak rusak. Engkau hanya sedang dipanggil pulang.
Dan kelak, engkau akan tersenyum. Bukan karena hidup menjadi ringan, tapi karena hatimu telah kembali bersandar. Engkau akan berkata dengan penuh syukur:
"Ternyata, yang dulu kupikir akhir, hanyalah prolog menuju karunia yang lebih besar. Dan yang kupikir adalah kematian jiwaku, hanyalah cara Tuhan menyiapkan kebangkitan yang lebih dalam.”
Hanya saja, untuk kali ini, bisa jadi dan mungkin sekali. Itu adalah pengulangan setiap peristiwa. hanya dalam skala yang berbeda, lebih besar tentunya, l3bih agung. Bila kau masih ragu dan malu, setidaknya itulah harapan yang bisa kau persembahkan untuk merayu. Belajarlah pulang, sajikan rayuan manismu dahulu, jang perlahan jangan kau ulangi, Tuhan maha cemburu.. dan itu adalah bagian dari caranya mencintaimu. dengan cara yang maha Asyik, yang kamu sudah tau, hanya saja kamu sedang lupa sadar dan sedikit gila.
Wahai jiwa yang nyaris musnah,
bangkitlah. Tuhanmu belum selesai mencintaimu.
datanglah dengan tunduk malu,
bahkan segepok uang palsumu,
Merayu dan Tuhan sudah tunggu itu..
kemesraan yang dunia tak akan pernah tau!!
kamu malu tapi tanpa rasa malu,
mungkin itulah kesombongan yang kamu alami...
tanpa pernah kamu miliki..
Pomalaa, 20250615
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment