gelandangan tak berumah, lagi...

Dahulu, rasa malu adalah tirai yang menjaga kehormatan jiwa. Ia berdiri bagai benteng sunyi yang tak terlihat namun kokoh, membentengi manusia dari runtuhnya harga diri. Kini, malu disingkirkan ke sudut paling sepi dari ruang batin, dianggap beban oleh zaman yang merayakan keberanian semu. Yang jujur dicibir karena lamban, yang telanjang lidahnya dielu-elukan karena disebut berani jadi diri sendiri, padahal yang dirayakan adalah nyali tanpa nurani.

Hari-hari ini, kesalahan tidak lagi disesali, melainkan dirias seperti pementasan. Pelaku dosa berdiri di atas panggung konten, tersenyum lebar, seakan hukum moral hanyalah mitos masa silam. Mereka bukan sekadar lepas dari cela, tapi dielu-elukan sebagai bintang baru. Kebenaran, yang dulu duduk di singgasana, kini menjadi pelayan bisu dalam pesta pencitraan.

Yang pahit tak lagi dihindari,
malah diteguk seolah nikmat.
Ampas bicara
ketika lidah sibuk berbohong:
“Yang tinggal hanyalah sisa,
tapi tetap disanjung sebagai rasa.”
mengampas, mengerak di dasar
mengering, mengeras dan abadi..

Apa yang dulu dibungkus rapi oleh kesadaran akan kehormatan, kini dikuliti terang-terangan demi sensasi. Aib bukan lagi bayang-bayang yang dihindari, melainkan lampu sorot di pentas dunia maya. Dosa dikemas sebagai hiburan, dilontarkan sebagai lelucon, dan tawa pun menggelegar tanpa sadar, gema itu berasal dari hati yang perlahan kehilangan gema nuraninya sendiri.

Manusia modern tak lagi merah wajahnya kala berbuat nista. Yang ia buru bukan pengampunan, melainkan sorotan. Yang ia takutkan bukan kutukan langit, tapi algoritma yang menolak menaikkan namanya. Ketika rasa malu telah ditanggalkan dan dikenakan seperti kostum yang usang, maka tak ada lagi pagar yang menahan manusia dari terjun bebas ke lembah dirinya sendiri.

Bukan kejahatan yang membuat dunia ini keropos, melainkan terbengkalainya kebenaran. Ia bukan dihancurkan oleh musuh, melainkan diasingkan oleh anak-anaknya sendiri. Seperti pohon yang akarnya dipotong, ia layu bukan karena badai, melainkan karena tanahnya dikeringkan oleh tangan-tangan yang semestinya menyiram.

Kita bakar waktu
dalam gulungan janji yang kering.
Asap pun naik ke langit,
tak membawa makna
hanya aroma dari hal-hal
yang tak lagi ingin kita sesali.
seperti doa-doa dalam asap tembakau...

Inilah zaman ketika panutan dibungkam, dan yang seharusnya malu justru disanjung. Zaman ketika moral bukan lagi cahaya, tapi hanya aksesoris yang bisa dicopot ketika tak lagi cocok dengan selera pasar. Maka jangan heran bila kelak yang tersisa dari peradaban hanyalah gemerlap cangkang, tanpa inti, tanpa arah.
zaman ketika kebajikan terlunta di ambang gerbang peradaban yang menciptakan peradaban itu sendiri...

Pomalaa, 20250614
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts