anekāntavāda costakenya
Tanggal 21 Januari 2012, angin dingin musim hujan berembus lembut di sebuah rumah kecil di pinggiran kota Yogyakarta. Di rumah itu, Costa baru saja pulang dari pekerjaannya sebagai buruh harian. Esok hari adalah ulang tahunnya yang ke-28, tetapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada rencana pesta atau perayaan besar. Hanya ada kebersamaan sederhana dengan istrinya, Kenya, yang selalu menjadi hadiah terindah baginya.
Di ruang tengah yang sederhana, sebuah meja kecil berdiri dengan taplak yang sudah mulai memudar warnanya. Vas bunga plastik, hadiah pernikahan mereka, masih setia menghias sudut meja itu. Mereka duduk bersama, menikmati makan malam seadanya—sepiring nasi dengan tempe goreng dan sambal.
Setelah makan, Kenya membuka percakapan dengan suara lembut yang menjadi awal dari cerita penuh cinta ini.
"Costa, aku melihat lilin aromaterapi di toko kemarin. Wanginya lembut, seperti melati di pagi hari. Aku membayangkan rumah kita lebih hangat dengan aroma itu," katanya pelan.
Costa terdiam sejenak, memandangi wajah istrinya yang lembut. Ia tahu, Kenya jarang meminta sesuatu. Namun, di dalam hati Costa, ia juga sadar, uang yang ia punya bahkan belum cukup untuk membeli novel filsafat yang sudah lama ia idamkan. Dengan berat hati, ia berkata, "Maaf, Kenya, aku belum bisa membelikan lilin itu. Semoga dirimu memahami, ada beberapa hal yang sedang aku rencanakan".
Kenya tersenyum, senyum yang selalu memeluk hati Costa. "Tidak apa-apa, Costa. Aku hanya ingin kamu bahagia," katanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
"Cukup aku menikmati lilin biasa tanpa aroma, meski habis terbakar, tapi lelehnya tidak pernah menyisakan apapun selain wajahmu yang samar di balik gelap, xixiixixi..."
"oooh tersandung aku mendengarnya, semoga begitu adanya. Semoga aku tidak hilang ingatan setelah mendengarnya... hahaha..." godanya pada suami yang punya cara sendiri dalam hal merayu dan menggoda...
Ditutup dengan senyum yang maneyembunyikan baknyak rahasia. Namun, di balik senyumnya, Kenya menyimpan sesuatu dalam pikirannya. Ia tahu, esok adalah ulang tahun Costa, dan ia ingin memberikan sesuatu yang berarti bagi suaminya. Baginya, Costa adalah pria yang selalu mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding dirinya sendiri. Ia ingin memberikan hadiah kecil, sebuah novel filsafat yang sudah lama Costa impikan untuk dibaca. Dengan niat tulus dan hati penuh kasih, Kenya memutuskan untuk menjual vas bunga mereka—bukan karena ia tidak menghargai benda itu, tetapi karena baginya, kebahagiaan Costa jauh lebih berharga daripada hiasan di rumah mereka.
Keesokan harinya, tanggal 22 Januari 2012, Kenya bangun pagi-pagi sekali. Ia membawa vas bunga plastik dari meja kecil di ruang tengah dan menjualnya di pasar pagi. Dengan uang hasil penjualan itu, ia membeli novel filsafat yang ia tahu akan sangat berarti bagi Costa.
Sementara itu, Costa, yang tidak tahu rencana Kenya, juga memiliki niat khusus untuk ulang tahunnya. Setelah obrolan mereka semalam, Costa merasa harus melakukan sesuatu untuk Kenya. Ia memutuskan untuk bekerja lembur hingga pukul tujuh malam, melewati jam kerja biasanya. Ia ingin mendapatkan uang tambahan agar bisa membeli lilin aromaterapi kecil seperti yang diinginkan Kenya. Costa tahu, hadiah sederhana itu tidak sebanding dengan kasih sayang Kenya, tetapi ia berharap wangi lilin itu bisa menghadirkan kehangatan dan kebahagiaan di rumah kecil mereka.
Sore hari, saat Costa pulang, ia membawa lilin itu dengan hati penuh harap. Ia membayangkan senyum Kenya ketika menyalakan lilin itu di malam hari, menghadirkan kehangatan dan wangi melati di rumah mereka.
Namun, saat ia membuka pintu, ia tertegun. Kenya menyambutnya dengan wajah cerah, tetapi di tangannya ada sebuah buku baru. Meja kecil di sudut ruangan kini kosong dari vas bunga yang biasa menghiasi.
"Kenya, dari mana kamu dapat buku itu?" tanya Costa dengan suara bergetar.
Kenya tersenyum lembut. "Aku menjual vas bunga kita di pasar pagi tadi. Aku tahu kamu memerlukan buku ini, Costa. Ini novel filsafat yang selalu kamu ceritakan ingin kamu baca. Aku ingin ini menjadi hadiah ulang tahunmu."
Mata Costa berkaca-kaca. Ia memeluk Kenya erat, lalu mengeluarkan lilin dari kantongnya. "Aku juga membelikan ini untukmu. Aku bekerja lembur hingga malam. Aku ingin kamu merasa nyaman di rumah kita."
Malam itu, mereka menyalakan lilin bersama. Wangi melati memenuhi ruangan kecil mereka, membawa ketenangan yang tak tergantikan. Costa membuka halaman pertama buku filsafatnya, sementara Kenya mendengarkan sambil memejamkan mata, menikmati aroma lilin yang menenangkan.
Tidak ada kata yang bisa melukiskan perasaan mereka malam itu. Bukan lilin atau buku yang membuat mereka bahagia, tetapi keberuntungan mereka yang saling mencintai dan dicintai.
"Cinta itu bukan tentang memiliki banyak, tetapi tentang memberi yang terbaik dari yang kita punya," bisik Costa di telinga Kenya.
Kenya menggenggam tangannya erat. "Dan kita punya segalanya, Costa, selama kita saling mencintai."
Dalam keheningan, air mata mereka jatuh perlahan, bukan karena kesedihan, tetapi karena kebahagiaan yang melimpah dari cinta tanpa syarat yang mereka miliki.
Malam itu, setelah lilin menyala dan wangi melati memenuhi ruangan, suasana menjadi lebih hangat. Costa melanjutkan membaca buku barunya, sementara Kenya menyandarkan kepala di bahunya, matanya setengah terpejam.
"Kamu tahu, Kenya," Costa tiba-tiba berkata, suaranya pelan tetapi ada nada menggoda di sana. "Kalau wangi lilin ini bikin nyaman seperti ini, aku merasa kita butuh sesuatu untuk melengkapinya."
Kenya membuka matanya, menatap Costa sambil tersenyum tipis. "Lengkap seperti apa, Costa?" tanyanya, meski ia sudah menangkap arah pembicaraan suaminya.
Costa menutup bukunya perlahan, meletakkannya di meja. Ia memandang Kenya dengan serius, tetapi matanya penuh dengan keisengan. "Lengkap dengan proyek besar baru. Sebuah... program pembangunan generasi kedua."
Kenya terkekeh, menutup mulutnya dengan tangan. "Costa, kamu ini serius atau bercanda?"
Costa mendekat, menyalakan sisi romantisnya dengan gaya yang sedikit konyol. "Kenya, coba pikirkan. Kalau lilin ini bisa menciptakan suasana sehebat ini, bukankah kita harus memanfaatkannya dengan maksimal? Siapa tahu, anak kedua kita nanti lahir dengan wangi melati!"
Kenya tertawa, menampar pelan bahu suaminya. "Costa, kalau itu teorimu, seharusnya kita beli lilin aroma jeruk biar anak kita segar seperti buah!"
Mereka berdua tertawa keras, suasana penuh tawa dan cinta. Tapi kemudian, tawa itu perlahan mereda. Mata mereka saling bertemu, ada cahaya hangat yang tidak bisa disangkal.
Dan malam itu, di bawah cahaya lilin yang lembut, suasana rumah mereka terasa lebih hangat dari sebelumnya. Costa dan Kenya duduk berdampingan, tak perlu kata-kata lagi untuk menjelaskan kebahagiaan yang mereka rasakan. Cinta yang telah mereka bangun selama ini, dengan segala pengorbanan kecil dan perhatian yang tulus, telah membentuk sebuah ikatan yang kuat. Tidak ada hadiah yang lebih berharga selain kebersamaan mereka—selalu ada sesuatu yang lebih dari sekadar barang, lebih dari sekadar pengorbanan.
Ketika lilin aromaterapi itu mulai memudar, begitu pula tawa mereka, tetapi hati mereka tetap penuh dengan kebahagiaan. Mereka tahu bahwa segala sesuatunya sudah cukup. Tak perlu lagi kata-kata atau janji-janji besar. Dalam keheningan malam yang penuh kehangatan itu, mereka hanya ingin menikmati saat ini, bersama, dengan penuh cinta yang tak terucapkan, tetapi terasa begitu dalam.
Costa dan Kenya, dua jiwa yang saling memahami tanpa perlu banyak bicara, yang saling memberi tanpa pamrih. Mereka tahu, cinta ini adalah perjalanan panjang yang tak terhingga, dan di setiap langkahnya, ada banyak kebenaran, banyak cara untuk saling mencintai. Malam itu, dengan tatapan penuh arti dan sentuhan lembut, mereka melangkah lebih dekat, membiarkan cinta mereka berkembang dalam cara yang paling intim. Sentuhan mereka seakan berbicara lebih banyak dari kata-kata, tubuh mereka bersatu dalam keheningan yang penuh makna, menghilangkan segala jarak dan perbedaan.
Dengan setiap tarikan napas yang seirama, mereka membiarkan diri mereka tenggelam dalam kenikmatan sederhana yang hanya bisa ditemukan di pelukan satu sama lain. Tidak ada lagi ruang untuk kekhawatiran, tidak ada lagi beban, hanya ada kedamaian dalam cinta yang tulus. Suasana di sekitar mereka semakin larut dalam kehangatan, seiring dengan setiap detik yang berlalu, mereka merasa semakin dekat—bukan hanya fisik, tapi lebih dalam lagi, hati dan jiwa mereka menyatu dalam cara yang begitu murni dan mendalam.
Di malam itu, tak ada kata yang terucap lagi, hanya ada rasa yang sempurna, mengalir begitu alami, membawa mereka ke puncak kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tidur mereka malam itu, seperti yang selalu mereka inginkan, penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan, bebas dari segala beban dan hutang rasa apapun.
Di dalam pelukan satu sama lain, mereka tidur dengan damai, mengetahui bahwa cinta yang mereka miliki adalah segala-galanya.
Yogyakarta, 20121120
duiCOsta_hatihati
di unggah 20170122
dari tulisan pribadi
9 hari setelah anak kedua lahir
Kayzenan Bregas Ksatrya
Comments
Post a Comment