Utuh, tanpa nama...

Ada malam-malam di mana aku bangun, bukan karena mimpi, tapi karena hati memanggil pulang. Tidak ada suara dari luar, hanya desir halus dari dalam yang berkata,
 “Engkau belum benar-benar menjadi dirimu.”
Aku menghela, sebab yang kupanggil ‘aku’ pun sering tak kukenal. Terlalu banyak nama kuterima dari luar, terlalu banyak saran tentang siapa sebaiknya aku jadi. Ada suara orang tua, guru, teman, bahkan dari mereka yang tak pernah mengenalku benar-benar, semuanya membentuk semacam salinan, saling timpa, sampai aku lelah menyebut diriku sendiri.

“Bukan hidupmu yang kau jalani,
hanya warisan ketakutan yang disusun jadi peta.”

Lalu datang sunyi. Bukan sunyi yang kosong, tapi yang membuka ruang dalam dada untuk suara yang selama ini kutolak. Ia lembut, tapi tidak kompromi. Ia berkata: “Jangan terbiasa menjadi orang lain. Sebab topeng itu bisa menempel terlalu lama sampai kau kira itu wajahmu.”

“Topeng yang terlalu lama dikenakan,
akan menagih bentuk wajahmu sebagai miliknya.”

Aku menunduk, malu. Sebab aku ingat betapa sering aku mengecilkan cahaya sendiri hanya agar tak silau di mata orang lain. Aku pernah membungkam kata hatiku karena takut dianggap berlebihan. Aku pernah membenamkan mimpi hanya karena tidak sesuai dengan ukuran sukses yang umum.

“Kadang kita menyebutnya bijak,
padahal hanya takut ditertawakan.”

Tapi ada batas bagi jiwa untuk menahan lapar dari keaslian. Pada titik tertentu, kita akan menangis bukan karena sedih, tapi karena terlalu lama menjadi asing di dalam tubuh sendiri. Dan saat itu terjadi, tidak ada jalan pulang lain selain menanggalkan segalanya, ambisi, label, citra, bahkan mimpi yang bukan milikmu.

“Menjadi dirimu
bukan menambah apa-apa,
tapi melepaskan semua yang bukan kamu.”

Namun kejujuran tidak datang tanpa harga. Ia akan membuatmu ditinggal. Diperbincangkan. Didebatkan bahkan oleh mereka yang tak pernah benar-benar mendengarkan. Sebab keaslian adalah cermin yang mengganggu, dan banyak orang lebih suka dinding daripada bayangannya sendiri.

“Yang jujur akan dianggap keras.
Yang lembut tapi palsu, disambut hangat.”

Ada luka di jalan ini. Tapi luka yang membersihkan, bukan yang merusak. Luka karena menolak jadi salinan, luka karena memilih sunyi daripada sorak yang kosong makna. Dan luka ini, entah bagaimana, justru menumbuhkan akar di tanah yang kupikir tandus.

“Duka yang diterima dalam hening,
berubah jadi taman tak terlihat.”

Aku mulai mengerti, bahwa keberanian terbesar bukan melawan dunia, tapi duduk tenang bersama dirimu sendiri, mendengarkan ia bicara tanpa topeng. Dan lebih dari itu, mengangguk. Menerima. Tanpa ingin mengubah apa pun.

“Hidup bukan menaklukkan dunia,
tapi berdamai dengan tempat terdalam di dadamu sendiri.”

Sekarang aku tahu, aku tidak harus dimengerti. Tidak harus disukai. Bahkan tidak harus dianggap benar. Sebab hidupku bukan panggung debat, tapi tempat berziarah. Dan siapa yang paham ziarahmu selain dirimu sendiri?

“Yang menertawakan arahmu,
hanya belum tahu betapa sepinya hidup
saat semua langkah diarahkan orang lain.”

Aku pun tak ingin membuktikan apa pun lagi. Sebab jiwa yang utuh tak sibuk dengan pembuktian. Ia sibuk merawat nyala. Dan dalam nyala itu, aku bisa berjalan lagi. Tidak karena yakin akan diterima, tapi karena aku akhirnya menerima diriku sendiri.

“Kau tahu cahaya itu milikmu,
saat kau bisa berjalan bahkan tanpa penonton.”

Dan jika aku tersesat, biarlah. Sebab tersesat karena memilih sendiri, lebih jujur daripada selamat karena mengikuti buta. Aku tak mencari jalan yang aman. Aku mencari jalan yang jujur. Dan jika itu membuatku sendirian, biarlah aku bersahabat dengan sunyi.

 “Lebih baik sepi dalam kebenaran,
daripada ramai dalam kepalsuan.”

Hingga akhirnya, tak ada yang perlu kujelaskan. Tak ada yang perlu kulawan. Sebab aku sudah tiba—bukan di tempat, tapi di keutuhan yang dulu hanya kutahu lewat bayangan samar.

“Aku tak sedang melawan,
aku sedang pulang ke diriku yang tak bisa dijelaskan.”

Pomalaa, 20250503
duiCOsta_hatihati 



Comments

Popular Posts