Litani Wajah Jatuh Hati

Wahai aku,
dengan segala aku-aku didalamnya.
Mengapa engkau gemetar hanya karena satu nama?
Mengapa dalam senyapnya malam, engkau seperti ingin menjerit,
padahal bibir tetap terkatup rapat?

Aku duduk sendiri, bercakap dengan bayangan,
memeluk sunyi seperti sahabat lama.
Di tangan, secangkir kopi pekat yang menghangatkan jiwa,
di sisi, gulungan halimun serinthil perlahan menari asapnya,
menjadi teman setia dalam rindu yang menggigit.

Lalu muncul pertanyaan yang selalu kutepis, 
apa yang sedang aku rasakan ini?
Apakah ini cinta?
Ataukah candu dari rasa yang tak kunjung reda?

Ternyata cinta tak selalu hadir dalam bentuk indah.
Kadang ia berwujud rindu yang menusuk, 
rindu yang tak bisa dijelaskan selain dengan doa dan dada yang sesak.
Rindu yang menggigilkan, bukan karena dingin,
tapi karena tak tahu harus mencari kehangatan di mana lagi selain di pelukmu yang tak ada.

Aku menahan napas pada setiap nama yang mirip denganmu,
berharap itu kamu, padahal tidak.
Kopi yang aku hirup dan halimun yang kutembuskan asapnya
adalah penjaga malamku, pengobat sunyiku.

“Rindu adalah zikir yang sunyi,
doa yang menyamar menjadi luka.
Dan aku,
adalah hamba yang tersesat dalam denting jarak yang bernama kamu.”
Seringkali cinta berwajahkan cemburu,
bukan karena tidak percaya,
tapi karena terlalu ingin menjadi satu-satunya langit
yang menaungi senyummu.
Asap halimun berkelok, mengingatkan aku pada tawa kecilmu yang kini beralih ke dunia lain,
sementara kopi masih terasa pahit di bibirku.

Aku pun bingung,
mengapa tawa kecilmu pada dunia lain,
seolah bisa merobek bahagiaku sendiri?

Apakah ini cinta,
atau hasrat untuk menjadi pusat semesta dalam hidupmu?

Aku mencoba menenangkan diri:
katanya cinta adalah kepercayaan.
Tapi mengapa hatiku berdetak lebih keras hanya karena tatapanmu beralih sesaat?
Apakah cinta bisa begitu rapuh?

“Cemburu adalah cermin retak dari rasa memiliki.
Dan aku,
hanya ingin kau tetap di sisiku,
meski kutahu, langit pun tak bisa memaksa bintang untuk tinggal.”

Terkadang pula, cinta berdandan sebagai curiga.
Wajahnya pucat, matanya merah, nadanya pelan tapi menyesakkan.

Saat engkau tak memberi kabar,
aku bukan sekadar menunggu,
aku menggali makna dari diam,
menyusun kemungkinan dari bayang.

Halimun yang perlahan membumbung ke langit-langit kamar
seperti menjadi saksi bisu kegelisahan yang tak berujung.
Wahai hati...
mengapa kau begitu ingin tahu?
Apakah cinta harus tahu segalanya,
atau cukup percaya bahwa yang dicinta tak sedang mengikis kesetiaan?

“Curiga bukan karena cinta tak kuat,
tapi karena ia pernah patah saat percaya.
Dan aku,
masih menjahit luka-luka lama, dengan benang yang kau beri bernama janji.”

Lain lagi ketika cinta menjadi terlalu menggenggam.
Bukan pelukan hangat,
melainkan kepalan takut kehilangan.

Aku mengaku, ku terlalu erat menggenggammu.
Bukan karena aku ingin menyakitimu,
tapi karena aku takut kau memilih pergi
di saat aku sedang belajar menyebutmu sebagai rumah.

Aku ingin kau tetap bersamaku,
tapi aku lupa bahwa cinta butuh napas.
Dan aku malah menutup jendela angin,
dengan dalih menjaga keutuhan api.

Di sini, kopi sudah tak lagi menghangatkan,
halimun pun berubah jadi asap yang membingungkan.

“Cinta yang terlalu erat,
akan mengubah taman jadi penjara.
Dan aku,
tengah belajar bahwa melepaskan bukan berarti berhenti mencintai, 
tapi memberi ruang agar kau tetap bisa pulang.”

Lalu cinta bisa juga meledak menjadi amarah.
Bukan benci, bukan dendam,
tapi teriakan dari hati yang tak tahu lagi cara mengutarakan luka.

Aku pernah memanggilmu dengan nada tinggi,
padahal maksudku hanya ingin kau lebih dekat.
Aku pernah memilih diam berhari-hari,
padahal aku ingin kau bertanya, agar aku punya alasan untuk bicara.

Amarahku tidak lahir dari kebencian,
tapi dari cinta yang terlalu lama duduk dalam sunyi
dan tak lagi punya bahasa selain bara.

Asap halimun yang berputar-putar di udara
menjadi tarian getir di antara tumpukan cangkir kopi yang belum habis.

“Marah adalah bentuk cinta yang sudah kehilangan cara berkata sayang.
Dan aku,
hanya ingin kau tahu,
bahwa setiap bentakanku adalah tangis yang tak sempat menjadi peluk.”

Dan pada akhirnya,
cinta pun memilih diam sebagai wujud terakhirnya.

Ia tidak lagi bertanya,
tidak lagi menggenggam,
tidak lagi menuntut,
tidak lagi menangis.

Ia duduk di sudut waktu,
memandangmu dari kejauhan,
diiringi asap halimun serinthil yang perlahan menari,
dan aroma kopi hitam yang menenangkan saraf lelah.

Dalam keheningan itu, aku merasakan hangatnya genggaman rempah dan rasa pahit yang akrab,
seperti doa yang diselipkan di antara hembusan nafas dan detak yang mulai reda.

“Jika dia memang bukan untukku,
jangan cabut rasa ini,
cukup jadikan aku tenang.”
gumam para candu buta pelaku,

Diamku bukan karena selesai mencintaimu,
tapi karena mencintaimu sudah menjadi bagian dari diriku
yang tak perlu diumbar,
cukup disampaikan dalam sujud yang paling pelan,
dengan seteguk kopi dan kepulan halimun sebagai saksi.

“Diam adalah bentuk cinta yang telah sampai ke maqam tertinggi,
pasrah.
Di sini aku belajar,
bahwa hangatnya kopi dan halimun,
adalah pelipur lara bagi jiwa yang merindu tanpa suara.”

Dan di akhir dari segala rupa itu,
aku tidak bertanya lagi, apakah ini cinta?

Aku tahu,
cinta adalah segala rupa itu sendiri.
Ia rindu,
ia cemburu,
ia curiga,
ia menggenggam dan melepaskan,
ia marah, dan ia pun diam.

Tapi selama aku masih mampu menyebut namamu dalam doa,
aku tahu,
aku belum benar-benar kehilangan.

Karena sejati,
kadang tidak tinggal dalam pelukan,
melainkan dalam hati yang terus mendoakan.
sampai bertemu jalan dan waktu,
juga singgasana puncak
bernama "PULANG".

Pomalaa, 20250516
duiCOsta_hatihati

Comments

Popular Posts