Empu Rindu, Cermin Laku

Ingin aku mengeluh,
tapi teringat peluhmu.
Ingin kuturuti takutku,
namun wajahmu, 
yang dikerut waktu,
membuatku segan.
Setiap kali hidup terasa gusar dan dingin,
aku ingat asin peluhmu,
dan hadir bayangmu,
Empu,
Puan,
yang di matamu,
aku tetap bocah kecil,
yang selalu kau tanya:
“Sudah makan, Nak?”
“Capek, ya?”
Dan meski bibirmu hanya lirih berkata:
“Tak apa, kamu sudah dipilih untuk peran itu...”
aku tahu, itu bukan keraguan,
itu keyakinan.

Kata Tuhan,
segala beban sudah ditakar dengan adil.
Dan kamu bisa...
Kamu harus bisa.
Padahal,
setiap aku pulang,
ribuan penat ingin kuurai
di pangkuanmu,
di bawah lembut semilir usapan kasihmu.
membelai...

Namun kini,
yang menemaniku hanyalah media,
jejak-jejak kenangan dari masa kecil,
kata orang, anak Jipang.

dan tersisa seoalh abadi,
hanyalah rasa takut dan malu
setiap kali aku ingin mendekat.
Takut mengganggu lelapmu,
takut kau menganggapku sudah dewasa,
atau lebih parah:
telah terlalu tua untuk dimanja.

Aku malu,
pada perjalanan hidupmu yang begitu panjang,
pada tebalnya kitab suci di tanganmu,
sedangkan aku,
baru menulis lembar pertama bukuku.
Belum ada judulnya.
Belum ada ujungnya.

Tapi sabar, ya...
As you said, all we need is a little patience to accept, and to keep walking together.

Pomalaa, 20250523
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts