aku, waktu dan wajah cinta lain

Sembilan jam.
Aku akan menunggu.
aku dan semua yang bersamaku tau itu.
malaikat patah sayap,
iblis yang lelap tidur berwajah manis,
juga ghaib yang menertawakan majnun yang mesra memeluk neraka.

Perjalananku bersandar sejenak di satu simpul waktu, di sebuah bandara yang sibuk di timur negeri ini: Hasanuddin, Ujung Pandang. Di tengah keramaian yang tak pernah benar-benar mengenal satu sama lain, aku menjelma jeda. Bagi sebagian orang, ini mungkin perhentian yang menjenuhkan, ruang hampa yang menjemput gelisah. Tapi bagiku, ia anugerah yang patut dirayakan dalam diam, dalam teguk kopi dan kepulan tembakau yang sudah lebih dulu tahu rasanya rindu.

Aku rindu pada diriku sendiri, diriku yang diam, yang senyap di tengah pasar yang riuh. Di sana, di Vale Pomalaa, aku menyebutnya begitu. Di antara wewangian palsu dan suara tawar-menawar yang melengking seperti doa-doa yang tak sempat dikabulkan. Aku mencintai tanahnya, sebuah potong surga yang dititipkan Tuhan pada manusia yang tergesa mengukurnya dengan lembaran dan nilai jual.

Di pasar itu, aku pernah menjual harga yang tak layak ditawar. Bahkan kadang aku berikan cuma-cuma. Perhitungannya bukan tentang untung atau rugi, melainkan kapan pasar ini selesai. Kapan sunyi menjemput. Kapan semuanya dibakar oleh nasib atau dibungkam oleh waktu.

Dan kini, di ruang tunggu bandara Makassar, aku punya sembilan jam untuk menjadi siapa pun yang tak dikenal. Aku memilih jalur kiri, jalur sepi yang jarang disentuh para pencari sorak. Jalur yang hanya dipijak mereka yang telah selesai bersuara. Di sini aku menyapa diriku sendiri. Menunggangi waktu yang tak mau padam. Dunia terus dipergelarkan, tapi aku telah lama turun panggung.

Aku selalu kembali. Pulang-pergi. Seperti angin yang tak punya rumah tapi tahu arah pulang. Tapi bagaimana jika suatu hari, aku memintamu yang menunggu, sementara aku, barangkali, tak pernah benar-benar kembali? Bagaimana jika pasar itu kau jaga sendiri, sedang aku pergi membawa wajah-wajah gusar yang dulu pernah aku diamkan?

Sembilan jam akan panjang. Akan berat. Tapi ia hadiah dari langit untuk yang tahu bagaimana caranya mendengar suara hati sendiri tanpa pengeras. Di waktu seperti ini, aku temui diriku yang bersuara paling nyaring dalam ruang paling sunyi. Di sel hati yang tak seorang pun akan datang menjenguk. Ketika delay diumumkan maskapai, aku hanya menunduk. Puji Tuhan, bukan sebagai protes. Tapi sebagai dzikir.
Dan “alhamdulillah” yang kulafaz bukan sekadar basa-basi.

Baru jam pertama.
Sisa delapan lagi di depan sana, seperti bukit-bukit sabar yang harus kudaki perlahan. Kau tentu tahu, ini bukan perkara mudah. Ada syukur yang tak bisa kusembunyikan, tapi juga bosan yang sesekali menyelip seperti angin masuk celah baju. Kekuatan, ah, tak selalu tampil dalam wajah tegar. Kadang ia hanya napas yang tetap berhembus meski dada sempit. Kadang ia hanya duduk diam, tak pergi meski pintu terbuka lebar. 

Aku bertahan, bukan karena kuat. Tapi karena tahu, menunggu adalah bentuk lain dari mencintai sesuatu yang belum datang.

Waktu berjalan lambat. Tapi justru di situ ia memberi makna. Segalanya serba cukup, tak lebih, tak kurang. Kursi tunggu menjadi sajadah, bersandar dan tidur. Kopi menjadi tasbih. Dan suara panggilan boarding yang entah kapan akan terdengar menjadi nyanyian takdir yang kupeluk tanpa syarat. Di jam-jam seperti ini, aku mengerti, hidup tak harus ribut untuk terasa nyata.

Ada panggung yang tak memanggil nama,
tak menyorot wajah,
tak menuntut tepuk tangan.
Di sanalah kebahagiaan tumbuh diam,
menjadi rahasia yang hanya dipahami
oleh mereka yang selesai mencintai sorak,
dan mulai merindukan senyap.

“Perjalanan sejati bukanlah menuju tempat,
melainkan menjauh dari kebisingan palsu
menuju sunyi yang tak lagi menuntut penjelasan.”

Ujung Pandang, 20250526
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts