takdirku, cangkir dan asbak

Takdir, barangkali,
ialah ketika biji kopi dijatuhkan di tanah lembah,
dan serinthil, tembakau yang hanya sudi tumbuh di batu-batu keras yang dipeluk dingin.
Mereka tak memilih akar.
Tak memilih musim.
Tapi manusia memilih bagaimana menunggu,
merawat,
dan memetiknya,
dengan cinta atau sekadar kebiasaan.
Aku melihat diriku di antara keduanya,
kadang pahit, kadang harum,
kadang terbakar dalam diam hanya agar harumku sampai ke ruang yang tak pernah memanggil namaku.
Dan itulah hidup yang kutempuh.

Sebagai anak,
aku tumbuh dari bayang.
Sebagai suami,
aku belajar menjadi langit yang tak selalu dipandang,
tapi melindungi dari hujan.
Sebagai ayah,
aku menukar tidur dengan doa,
dan menahan retak agar dinding rumah tetap utuh.

Biji kopi itu tak meminta disangrai,
tapi ia pasrah pada panas agar ia bermakna.
Serinthil itu tak meminta harum,
tapi ia rela terkulai, agar tiap helaan napasmu lebih panjang.
Begitu juga aku.

Aku tak memilih untuk terbakar.
Tapi jika terbakar bisa membuatmu tenang,
maka biarlah aku jadi bara,
yang hilang perlahan tanpa upacara.

Dalam hidup ini,
kita hanyalah lintingan yang dilipat tangan letih,
ampas yang tertinggal di dasar cangkir,
asap yang melayang setelah tawa hilang,
tapi tetap menjadi sisa-sisa yang dikenang oleh yang tahu menghargai kehadiran yang diam.
Hidup ini bukan soal siapa yang lahir di mana,
tapi siapa yang bertahan meski tak dinamai kemenangan.

Dan jika semua harus tenang,
biar aku saja yang gelisah.

Jika semua harus terlihat,
biar aku saja yang hilang.

Itulah kami, kaum laki-laki.
Bila kalian keberatan ku sebut kami,
biar aku saja,
itu aku,
sendiri.

Pomalaa, 20250524
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts