musim diam, suri dan pergi

Ada masa ketika suara tak lagi mampu menjangkau apa pun.
Bukan karena kehilangan kata,
tapi karena setiap kata telah kehilangan tempat untuk pulang.

Di tempat aku berpijak,
amarah tak lagi menggelegar seperti badai.
Ia mengecil jadi senyap,
mengendap seperti embun dini hari,
dingin, jernih, namun tak menyegarkan.
Dulu, aku masih mengandalkan suara.
Menggantung harap di sela nada tinggi,
menganyam kecewa lewat kalimat yang nyaris putus.
Bukan untuk menyerang,
tapi agar kau tahu,
aku sedang berjuang.

Namun waktu tak memihak.
Ruang ini semakin sempit,
dan aku perlahan kehilangan bentukku sendiri.
Bukan karena aku ingin menyerah,
tapi karena tak ada cara lain untuk tetap waras selain diam.

Diam bukanlah damai.
Diam adalah naungan terakhir ketika seluruh sudut telah memantulkan luka.
Saat yang didengar hanya suara mereka sendiri,
dan kita hanya tinggal gema yang tak pernah dimaknai.

Banyak yang mengira kehilangan itu datang tiba-tiba.
Padahal, ia tumbuh seperti kabut pagi, perlahan, menyusup, menyelimuti.
Dalam candaan yang menusuk,
dalam sikap yang mengecilkan,
dalam pengabaian yang berpura-pura tak sengaja.

Aku sudah lama menyusut,
menghindar satu langkah demi satu,o


berharap ada yang menarikku kembali.
Tapi tak seorang pun melihat langkah itu.

Kini, di musim yang keheningannya makin pekat,
aku tidak lagi berharap ditemukan.
Aku sedang menata sunyi menjadi jalan.
Rencana kepergianku lahir bukan dari kemarahan,
tapi dari kesadaran: bahwa tak semua tempat layak dipertahankan.

Belum hari ini.
Belum sekarang.
Tapi aku tahu arah ke mana kaki ini akan melangkah suatu saat nanti.
Dan ketika hari itu tiba,
aku tak akan menoleh.
Tak karena benci.
Tapi karena akhirnya aku benar-benar tak peduli.
sebagaimana semesta menina-bobokanku,
nyenyak dalam nafas mati suri.

Pomalaa, 20250501
duiCOsta_hatihati 

Comments

Popular Posts