seni ketiadaan, pamit!!
Aku adalah permukaan pertama yang kalian sentuh, tempat awal segala yang tumbuh. Tapi tak semua yang tumbuh tahu diri pada tanah tempatnya berakar. Aku memberi, bukan untuk dicatat, melainkan karena itu hakikatku. Namun ketika fondasi mulai dilonggarkan oleh suara-suara yang membangun rumah masing-masing di atas punggung yang sama, maka biarkan aku diam... dan biarkan tanah lain merasakan beban yang mereka sebut sebagai "kemerdekaan".
Kau tak bisa menyapa bumi
lalu melupakannya ketika berdiri
Sebab setiap tinggi,
mengingat tanah adalah satu-satunya cara pulang.
“Yang paling memberi adalah yang paling mudah dilupakan. Tapi ia tak pernah lupa pada siapa yang meninggalkannya.”
Kepada Bumi aku bertanya:
Kalau aku tidak lagi disebut rumah, untuk apa aku terus menampung mereka yang berlindung hanya saat hujan?
--------
Ada masa ketika aku menyalakan pagi kalian sebelum kalian bangun. Tapi tampaknya, yang terbiasa dalam cahaya sering merasa terbitnya matahari adalah hak, bukan anugerah. Dan ketika terang dijadikan perlombaan menampilkan bayangan terpanjang, maka izinkan aku tenggelam perlahan. Bukan karena redup, hanya karena aku tahu: beberapa ruangan memang dicipta untuk senyap.
Terang tak meminta decak kagum
dan panas tak selalu lahir dari amarah
Kadang, sinar pergi
agar manusia belajar menyalakan dirinya sendiri.
“Yang menuntun dalam diam, seringkali dilewati begitu saja.”
kepada Matahari aku meyakinkan:
Bukankah indah ketika mereka bersorak atas terang… tanpa sadar dari mana asalnya?
--------
Aku datang tak membawa kayu bakar, hanya pelita. Tapi rupanya pelita pun dianggap berbahaya jika tak bisa mereka kendalikan nyalanya. Ketika keberanian disalahpahami sebagai keras kepala, dan ketegasan disulap jadi stigma, maka aku memilih padam dengan anggun. Sebab tak semua api perlu membakar; beberapa cukup menjadi bara… yang membuat yang lain gelisah dalam keheningan.
Ada nyala yang tak perlu membakar
cukup ada untuk membuat orang takut
pada kemungkinan bahwa
ia bisa marak kapan saja.
“Keberanian sejati tak perlu suara tinggi; cukup keyakinan yang tak bisa dibengkokkan.”
kepada Api aku berpesan:
Biarlah mereka menyalakan unggun sendiri. Aku sudah cukup jadi api yang menolak menjadi pesta.
--------
Aku adalah muara. Dan seperti semua muara, aku menyambut siapa pun yang datang, dengan isi, maksud, bahkan polusinya. Tapi aku tidak tenggelam oleh arus; aku menyaring. Sayangnya, sebagian hanya ingin bicara, tak pernah mau didengar. Maka aku mundur, bukan karena tak bisa menampung, hanya karena tak semua ombak perlu dipeluk. Beberapa cukup diantar kembali ke pantai tempat asal mereka.
Samudra tak pernah marah pada sungai
ia hanya tahu mana arus yang membawa makna
dan mana yang hanya datang
untuk menenggelamkan segalanya.
“Menerima bukan berarti menenggelamkan suara sendiri.”
kepada Samudera jawablah:
Kalau setiap saran adalah perintah, lalu di mana ruang untuk mendengar satu sama lain?
--------
Aku terbuka. Terhampar luas, siap memantul segala cahaya dan gelap yang datang. Tapi pandangan yang pendek hanya akan menyalahkan langit karena tidak memayungi seluruh dunia. Mereka sibuk membangun tiang sorot nama mereka sendiri, padahal langit tak butuh ditinggikan, dia hanya perlu dimengerti. Maka aku menepi, tetap luas, tetap ada, tapi tak perlu lagi menjelaskan cakrawala pada jiwa-jiwa yang menolak mendongak.
Langit tak pernah rendah
tapi manusia sering lupa
bahwa tingginya bukan untuk dibanggakan
melainkan untuk dipahami.
“Yang paling tinggi adalah yang paling sulit dijangkau… bukan karena sombong, tapi karena tahu tempatnya.”
Bisikku pada Langit:
Sampai kapan aku harus menjelaskan luasnya langit pada orang yang sibuk mengukur atap mereka sendiri?
--------
Aku datang dan pergi, tapi bukan karena tak peduli. Hembusanku adalah cara paling lembut untuk menyentuh, tapi juga paling tak terduga untuk mengubah arah. Tapi jika angin disalahpahami sebagai pengganggu, dan napas perubahan dianggap ancaman, maka aku akan berhenti bergerak. Sebab kadang, diam adalah satu-satunya cara agar mereka tahu betapa sesaknya dunia tanpa udara segar.
Ada angin yang memilih tenang
bukan karena tak bisa bertiup
tapi karena tahu
ia sedang meniupkan pelajaran.
“Tak semua pengaruh perlu suara. Kadang keberadaan cukup membuat dunia bergeser.”
Angin, sampaikan oada semesta:
Jika keberadaanku dianggap tak penting, biarkan aku jadi tiada, dan semoga mereka kuat menanggung heningnya.
--------
Aku tak pernah menjanjikan terang, hanya kelegaan. Tapi ketenangan pun rupanya bisa dianggap hambar oleh jiwa yang lapar akan gemuruh. Aku hadir, tapi tak ingin disanjung. Aku menjadi bulan, bukan matahari. Namun ketika gelap justru digunakan sebagai tirai untuk bermain peran, aku tahu: kedamaian tak bisa dipaksakan. Ia hanya bisa ditawarkan sekali, lalu dibiarkan pergi.
Bulan tak pernah minta dilihat
Ia hanya ada bagi siapa pun yang memilih
untuk duduk, menunduk,
dan merenung tanpa gaduh.
“Harapan bukan teriakan, tapi cahaya kecil yang tetap bertahan di tengah kebisingan.”
jangan sedih Bulan, dengarkan aku:
Ketika kehadiran yang diam dianggap tak berguna, mungkin mereka memang belum cukup gelap untuk merindukan bulan.
--------
Aku tak lagi di keramaian, tapi bukan berarti aku lenyap. Aku tetap menggantung di sana, diam, tinggi, dan tak meminta apa pun. Biarlah mereka sibuk pada peta yang mereka gambar sendiri, sebab arah tak dipaksakan. Aku menjadi prinsip yang tak ikut parade. Dan kelak, ketika malam benar-benar datang, mungkin mereka akan mencariku. Atau tidak. Aku tetap akan ada.
Tiada yang lebih setia dari bintang
Ia menggantung di sunyi,
menjadi arah bagi yang mau berjalan,
dan diam bagi yang tersesat dalam sorak.
“Inspirasi paling murni datang dari yang tak pernah meminta untuk dilihat.”
Bintang-bintang, jangan lupa:
Bukankah arah selalu dicari saat keramaian bubar? Biarlah aku jadi penunjuk yang tak perlu dikenal.
--------
Dan inilah simpul sunyi dari perjalananku: aku memilih pergi. Bukan untuk menghindar, tapi untuk menjaga bentuk dari apa yang telah lama retak dalam diam. Di jalan ini, aku tahu ada yang merasa kehilangan, karena pernah merasakan naungan di bawah satu langit pengabdian. Ada pula yang menatap sinis, menyebutku pecundang, karena tak mampu membaca beban yang kupikul dalam senyap. Dan di antara mereka, ada pula yang mulai melihat cahaya: bahwa kadang, perpisahan bukanlah kehancuran, melainkan penyucian arah dari satu peradaban kecil yang mulai kehilangan porosnya.
Aku bukan pergi dengan tangan kosong, aku membawa luka yang tak kutunjukkan, peluh yang tak kupamerkan, dan cinta yang tak pernah kering untuk himpunan ruh yang dulu kusebut bahtera. Aku minta maaf jika ada tebasan kata yang tak sengaja melukai saat aku sedang menjaga haluan. Aku ucapkan terima kasih, bagi jiwa-jiwa yang diam-diam berdiri dalam keheningan, memberi daya pada layar dan menjaga angin tetap berpihak. Dan untuk kalian semua: biarlah kepergianku menjadi ruang. Untuk tumbuh. Untuk menyadari. Untuk mengerti, bahwa tak semua yang hilang itu benar-benar pergi. Sebab aku tinggal, dalam jejak, bagi yang masih ingin berjalan dengan hati.
"Aku menunduk, bukan karena kalah. Tapi karena tahu, angin yang paling tinggi pun butuh merunduk, agar tak mencabut akar yang pernah ditanamnya sendiri".
Pomalaa, 20250505
duiCOsta_hatihati
Comments
Post a Comment