selamat hari lahir, kematian

Hikayat Jiwa-Jiwa yang Disembunyikan

Di negeri yang gemerlap dengan nama-nama besar, ada mereka yang berjalan dalam bayang-bayang. Mereka tidak mencari pengakuan, tidak haus akan pujian.

Mereka adalah Majnun, Njawani, Senopati, dan Adi Jumingan Haryanto, bapakku, sahabatku, juga musuh terhebatku. 

Mereka tidak bersarung, tidak bersorban, tidak pergi ke Mekkah, dan tidak berdakwah di atas mimbar. Namun, di dalam hati mereka, ada cinta kepada Tuhan yang tak seorang pun tahu.

Majnun, Santri yang Tak Bersarung

Aku berdiri di bawah rembulan yang mengintip dari balik awan. Cahaya temaramnya jatuh ke tanah, membentuk bayangan yang samar-samar. Aku menghela napas, mengingat sebuah pesan lama yang pernah kudengar dari ibuku:

"Hubungan mesra dengan Tuhan adalah bagaimana kamu merahasiakannya."

Maka aku berjalan dalam sunyi, menahan desir angin yang menyibak dada. Aku adalah santri yang tak bersarung, ulama tanpa sorban, haji yang tak pernah ke Mekkah, dan da'i tanpa mimbar. Aku menyembunyikan luka, sebagaimana aku menyembunyikan ibadahku.

Majnun dikenal sebagai santri yang pendiam. Ia menghafal kitab, memahami ilmu, tetapi ia tak pernah berdebat. Ia tak pernah ikut dalam perbincangan panjang tentang siapa yang lebih benar, siapa yang lebih saleh.

Suatu hari, seorang santri lain mendatanginya. "Majnun, mengapa kau tak pernah melawan saat orang-orang meremehkanmu?"

Majnun tersenyum. "Jika aku bersarung, aku mungkin akan menang. Tapi aku takut menang di hadapan manusia dan kalah di hadapan Tuhan."

santri itu aku terdiam.

Di dunia yang mengajarkan bahwa kebenaran harus dipertahankan dengan keras, Majnun memilih diam. Ia lebih memilih menjadi santri yang kalah di dunia, tapi menang di akhirat.

 "Aku tidak bertarung bukan karena aku lemah,
Tapi karena aku ingin menang tanpa mengalahkan siapa pun."

Njawani, Ulama Tanpa Sorban

"Tapi, bukankah ibadah harus tampak?" tanyaku pada diriku sendiri.

Ia menjawab dengan suara yang lirih, "Tampak oleh siapa? Oleh manusia atau oleh Tuhan?"

Aku terdiam.

Tak ada yang tahu seberapa panjang rukukku, seberapa deras tangisku dalam sujud. Aku memilih menangis sendiri, tertawa sendiri, dan merasakan kebahagiaan dalam diam. Tidak ada suara takbir yang keras, tidak ada lantunan doa yang menggema. Aku takut lebih banyak pujian manusia daripada rida-Nya.

Aku membaca diriku sendiri, mencari makna dalam sepi.

Aku letakkan tanganku di dada
Sebab di sana ada masjid yang tak terlihat
Aku menangis dalam sujud panjang
Tanpa sajadah, tanpa saksi
Selain Tuhan

Njawani bukan seorang pemuka agama. Ia tidak memakai sorban, tidak duduk di atas mimbar. Ia lebih suka duduk di tepi jalan, mendengarkan kisah orang-orang miskin, dan membantu mereka yang kesulitan.

Suatu hari, seorang pemuda bertanya, "Njawani, mengapa kau tak pernah memakai sorban seperti ulama lainnya?"

Njawani tersenyum. "Aku lebih ingin dikenal sebagai orang baik daripada sebagai orang alim."

Pemuda itu kebingungan.

Njawani melanjutkan, "Ilmu yang sebenarnya bukan di kepala, bukan di pakaian, tapi di perbuatan. Apa gunanya sorban jika hati masih dipenuhi kesombongan?"

pemuda itu aku, terdiam.

"Aku tidak memakai sorban bukan karena aku bukan ulama,
Tapi karena aku ingin ilmu menjadi akhlak, bukan sekadar gelar."

Senopati, Haji yang Tak Pernah ke Mekkah

Di dunia ini, orang-orang menyukai cahaya yang terang. Mereka ingin dilihat, dikenang, dan disebut dalam setiap doa. Aku memilih sebaliknya. Cahaya yang kusembunyikan adalah cahayaku sendiri, bukan untuk diperlihatkan.

"Apa kau takut tak dikenal?" bisikku pada bayanganku sendiri.

"Takut dikenal lebih buruk daripada takut dilupakan," jawabnya.

Seorang malamatiyah tidak menginginkan sanjungan atas amalnya. Ia menutupi kebaikan sebagaimana orang lain menutupi dosa. Ia lebih memilih menjadi anomali dalam semesta, tak dikenali, tak diberi gelar, dan tak dikagumi.

Mereka berkata aku tak punya jalan. Mereka tak tahu bahwa aku telah berjalan terlalu jauh hingga tak lagi butuh peta.

Aku tenggelam dalam sunyi
Hingga namaku hilang dari dunia
Dan hanya Tuhan yang tahu siapa aku

Senopati telah lama mengumpulkan uang untuk pergi ke Mekkah. Namun setiap kali tabungannya cukup, ada saja orang yang datang meminta bantuan.

Suatu hari, seorang saudagar kaya bertanya, "Mengapa kau belum juga berangkat haji, Senopati? Bukankah itu kewajiban?"

Senopati tersenyum. "Jika aku pergi ke Mekkah, aku akan melihat rumah Tuhan. Tapi jika aku membantu mereka yang kesulitan, aku sedang bersama Tuhan."

Saudagar itu, aku terdiam.

Senopati tidak menolak haji. Tapi ia tahu bahwa perjalanan menuju Tuhan tidak hanya di satu tempat. Ia memilih untuk menemukan Tuhan di wajah-wajah orang yang ia tolong.

"Aku tidak pergi ke Mekkah bukan karena aku tak ingin,
Tapi karena aku tahu, perjalanan menuju Tuhan lebih luas dari satu arah."

Adi, Da’i yang Tak Punya Mimbar

Dalam kesunyian, aku belajar bahwa menangis adalah bagian dari ibadah. Seorang malamatiyah menangis tanpa suara, berdoa tanpa mengangkat tangan, dan bersyukur tanpa kata-kata. Luka-lukanya adalah doanya, dan air matanya adalah zikir yang tak terdengar.

"Apa yang kau cari?" tanya batinku.

"Aku mencari Tuhan dalam diriku sendiri," jawabku.

Aku tak ingin menjadi yang paling saleh di mata manusia, aku hanya ingin menjadi yang paling jujur di hadapan Tuhan.

Aku sembunyikan sujudku dalam gelap
Aku hapus air mataku sebelum fajar
Jika aku jatuh dalam cinta kepada-Nya
Biarlah itu hanya aku dan Dia yang tahu

Di tengah kota yang sibuk, ada seorang lelaki bernama Adi. Ia tidak pernah berceramah, tidak pernah diundang ke majelis, tidak pernah memimpin pengajian. Tapi ia dikenal sebagai orang yang murah senyum, lembut tutur katanya, dan tak pernah menyakiti hati orang lain.

Suatu hari, seorang sahabat bertanya, "Adi, mengapa kau tidak berdakwah di atas mimbar?"

Adi tersenyum. "Dakwah bukan tentang seberapa keras kau berbicara, tapi seberapa lembut kau memperlakukan manusia."

Sahabat itu aku, terdiam.

Adi tahu, kata-kata bisa menggugah hati, tapi perbuatan bisa mengubah hidup seseorang. Ia memilih menjadi dai tanpa suara, tetapi suaranya tetap terdengar dalam akhlaknya.

"Aku tidak berdiri di mimbar bukan karena aku tak bisa berbicara,
Tapi karena aku ingin dakwahku hidup dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata."

Bagiku: Mereka yang Tidak Dikenal, Tapi Dikenal oleh Tuhan

Dunia memuja mereka yang terlihat, menghormati mereka yang bersuara. Tapi ada mereka yang memilih jalan sunyi, bukan karena mereka kurang, tetapi karena mereka tidak ingin ibadahnya menjadi tontonan.

Majnun tidak bersarung, karena ia tak ingin menang atas manusia.
Njawani tidak memakai sorban, karena ia ingin ilmunya menjadi perbuatan.
Senopati tidak pergi ke Mekkah, karena ia menemukan Tuhan di wajah fakir miskin.
Adi tidak berdakwah di mimbar, karena ia ingin kata-katanya hidup dalam akhlaknya.

Mereka bukan siapa-siapa di mata manusia. Tapi di hadapan Tuhan, mereka adalah yang paling dekat.

Akhir yang Tak Berakhir

Malam semakin larut. Aku merasakan desir angin yang membawa sejuk ke dalam dadaku. Aku tidak tahu apakah aku telah sampai atau masih berjalan. Tapi satu hal yang kutahu, aku tak ingin perjalanan ini berakhir.

Santri yang tak bersarung, ulama tanpa sorban, haji yang tak pernah ke Mekkah, dan da'i yang tak punya mimbar—kami adalah mereka yang memilih sunyi. Kami adalah mereka yang lebih suka Tuhan melihat kami daripada dunia mengenang kami.

Kami adalah jiwa-jiwa malamatiyah.

Jika kau mencariku, jangan di keramaian
Aku bersembunyi di balik sepi
Sebab di sanalah Tuhan menemukanku lebih dulu

Punthuk, 20250211
duiCOsta_hatihati

Comments

Popular Posts